Minggu, 26 Agustus 2012

Makna Penjor dalam Upacara Suci Bali


Umat Hindu dari jaman dahulu sampai sekarang bahkan sampai nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa memakai symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa yaitu sebagai pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memakai simbol, bangsa pun memakai simbol-simbol. Bentuk dan jénis simbol yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama.

Dalam upakara terdiri dari banyak macam material yang digunakan sebagai simbol yang penuh memiliki makna yang tinggi, dimana makna tersebut menyangkut isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek kehidupan seperti Tri Hita Karana.

Masyarakat di Bali sudah tidak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) jenis penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, misalnya upacara galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada waktu hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll.

Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.
Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.

Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.

Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.

Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :

 “Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03)
WHD No. 478 Nopember 2006.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Pengertian dan Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "A" dan "gam".  "a" berarti tidak dan "gam" berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi atau bergerak dan bersifat langgeng. Menurut Hindu yang dimaksudkan memiliki sifat langgeng (kekal, abadi dan tidak berubah-ubah) hanyalah Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Demikian pula ajaran-ajaran yang diwahyukan-Nya adalah kebenaran abadi yang berlaku selalu, dimana saja dan kapan saja. 
Berangkat dari pengertian itulah, maka agama adalah merupakan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir bathin.

Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup  manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.

Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12) sebagai berikut:

    Kamarthau Lipsmanastu
    dharmam eweditaccaret,
    na hi dhammadapetyarthah
    kamo vapi kadacana.
Artinya:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.

Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S.14), sebagai berikut:

    Dharma ewa plawo nanyah
    swargam samabhiwanchatam
    sa ca naurpwani jastatam jala
    dhen paramicchatah
Artinya:
Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga,  sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar  untuk mengarungi lautan.

Selanjutnya di dalam Cantiparwa disebutkan pula sebagai berikut:

    Prabhawar thaya bhutanam
    dharma prawacanam krtam
    yah syat prabhawacam yuktah
    sa dharma iti nicacayah
Artinya:
Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.

Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:
"Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah"
Artinya:
Dharma (agama) tercantum didalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).

Weda (S.S. 16) juga menyebutkan :

    Yathadityah samudyan wai tamah
    sarwwam wyapohati
    ewam kalyanamatistam sarwwa
    papam wyapohati
Artinya:
Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.

Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi. Demikianlah Catur Purusa Artha itu.

Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Sejarah Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

Masuknya Agama Hindu di Indonesia

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

Agama Hindu di Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Makna Galungan dan Kuningan Versi PHDI

Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan. [ Oleh : I Nyoman Dayuh, (UNHI - Dps)]
Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :
"Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya".

Artinya:
"Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka".
Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhumya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

Macam - Macam Galungan

A. Galungan
Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
B. Galungan Nadi
Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.
C. Galungan Naramangsa.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah.

Rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan

Persiapan perayan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu wrespati Sungsang adalah hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan. Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara. Selanjutnya Redite Paing Dungulan disebut penyekeban.
Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa. Besoknya Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.
Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.

Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Dharma dan Adharma Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam dirinya. Bagaimana cara menemukan hakekat dirinya yang sejati?, "matutur ikang atma ri jatinya" (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya).
Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.
Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka 564) menyebutkan :
"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".
Artinya:
Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita. (WHD No. 436 Juni 2003).

Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, diantaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.
Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Memilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.
Kesimpulan:
Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa.
Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.
Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya.
Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.
Om, sampurna ya nama swaha.
Om, sukham bhawantu.

Selasa, 21 Agustus 2012

Pantai Bali

Beberapa Pantai di Bali sebagai Obyek Wisata Yang Dicari Dunia

Bali memang kaya dengan objek wisata yang indah dan menarik, mulai dari pemandangan bawah lautnya, keindahan pantai dan sampai alam pegunungannya. Berbicara Pantai yang ada di Bali, memang memiliki suasana, karakter dan pemandangan yang beragam. Mulai yang berpasir putih, hitam dan berkoral, begitu juga dengan ombaknya, ada yang tenang-tenang saja dan ada yang memiliki gelombamg ombak yang tinggi sehingga menjadi incaran para peselancar baik itu peselancar lokal maupun asing. kalau anda ke Bali, pantai Kuta sebagai ikon wisata pantai di Bali sepertinya wajib anda kunjungi, sehari-harinya ramai dikunjugni wisatawan baik domestik maupun asing, apalagi pada saat musim liburan. 

Objek Wisata Pantai Kuta saat sunset

Hampir semua pantai yang mengitari pulau Bali, memiliki keindahan dan menjadi objek wisata, dan bisa diakses dengan kendaraan bermotor baik dengan mobil dan sepeda motor . Kabupaten Badung yang memiliki lokasi strategis banyak memiliki pantai yang indah seperti pantai Kuta, Legian, Petitenget, Canggu, Padang-padang, Balangan, Dreamland juga Tanjung Benoa di Nusa Dua, yang menjadi pusat aktifitas watersport di Bali. Dan semua pantai dari kawasan Uluwatu sampai Canggu, memiliki suasana yang eksostis bisa menikmati keindahan matahari tenggelam / sunset. Pantai yang bagus untuk spot diving selain Nusa Dua dan Menjangan ada juga Pantai Amed dan Tulamben yang ada di kabupaten Karangasem, yang memiliki keindahan keaneka ragaman biota laut dan terumbu karangnya.

Objek wisata pantai Balian

Pura Lempuyang Sebagai Obyek Wisata

Berikut sedikit informasi tentang tempat wisata di Bali :: obyek wisata Lempuyang, Bali.

Pura Lempuyang Luhur salah satu obyek wisata di bali, dan merupakan tempat suci bagi umat Hindu di Bali yang berlokasi di Bali bagian Timur tepatnya di Kabupaten Karangasem.
Dengan latar belakang panorama Gunung Agung yang memukau, disamping sebagai tempat suci, Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur memiliki keunikan tersendiri dengan kemurnian alamnya, terutama kawasan hutan yang menjadi paru-paru Pulau Dewata.
Awal perjalanan di mulai dengan kelokan dan tanjakan, tempat wisata yang pertama dapat kita kunjungi adalah Pura Lempuyang Madya termasuk Pura Dang Kahyangan. Soal status dan yang kasungsung (di puja) di pura tersebut diyakinkan adalah Ida Batara Empu Agenijaya dan Empu Manik Geni. Di mana, Empu Agenijaya bersaudara tujuh, di antaranya Mpu Kuturan, Mpu Baradah dan Mpu Semeru.Sementara palinggih yang ada di antaranya palinggih bebaturan linggih Batara Empu Agenijaya sareng Empu Manikgeni, Gedong Tumpang Siki (satu), dua dan tiga, Manjangan Saluang, Sanggar Agung, Bale Pawedaan, serta Bale Pesandekan.


Pura Lempuyang Madya

Bagi wisatawan yang ingin melihat keindahan dari Puncak Gunung Lempuyang / Bukit Bisbis menuju Pura utama Sad Kahyangan Lempuyang Luhur di puncak kita harus menapaki lebih dari 1.700 (seribu tujuh ratus) anak tangga, pada saat menapaki jalan ke puncak inilah kita di suguhi udara sejuk dari hutan yang masih asri, suara-suara satwa dan pemandangan alam Kabupaten Karangasem yang memukau, yang lebih unik.

Bagi umat Hindu maupun Para wisatawan yang hendak Tangkil (datang sembahyang) ke Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur, satu hal yang layak dipersiapkan adalah ketahanan fisik, dan tentu saja hati yang tulus suci, dan pantangan-pantangan yang patut di patuhi yaitu tak boleh berkata kasar saat perjalanan, orang cuntaka (seperti ada keluarga yang meninggal), wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat, membawa atau makan daging babi juga tidak diperbolehkan.

Pura Lempuyang Madya

Pura Besakih

Sedikit Ulasan Pura Besakih BALI
 
Pura Besakih, pura terbesar di Bali, terletak di bagian timur Bali tepatnya di kabupaten Karangasem. Pura ini berdiri kokoh di kaki gunung Agung dan tiap ada upacara dilaksanakan selalu dipadati oleh umat hindu dari seluruh Indonesia.


sumber : http://blog.baliwww.com/wp-content/photos/pura_besakih_temple_whitenviro3.jpg
Komplek Pura Besakih terdiri dari 18 Pura dan 1 Pura Utama. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca utama Tri Murti Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur.

 

sumber gambar : http://kemoning.info/blogs/wp-content/uploads/2009/04/pura_besakih.jpg

Segores Sejarah Kelam di Bali

DALAM pelajaran sejarah generasi Orde Baru pasca-1966, baik PMP (Pendidikan Moral Pancasila) ataupun PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), sama sekali tidak dijelaskan tentang pembantaian massal setelah peristiwa G30S. Yang ada adalah kudeta yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap pemerintahan yang sah pada dini hari 30 September 1965. Ini dibuktikan dengan penemuan jenazah tujuh jenderal di kawasan Lubang Buaya yang disiksa dan dibunuh oleh organisasi underbow PKI, yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Ritual lain yang tak terlupakan adalah upacara bendera memperingati Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober), dilanjutkan dengan mengunjungi monumen Tujuh Pahlawan Revolusi untuk mengutuk kekejaman PKI dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur, kemudian rombongan sekolah menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” di gedung-gedung bioskop sehingga wacana “Hantu Komunis” terus tercipta yang dijadikan senjata untuk menghabisi gerakan-gerakan kritis dan istilah “Ganyang PKI” menjadi begitu dikenal.
Siapa yang tahu bahwa sesungguhnya ada cerita lain di balik peristiwa itu, yang hanya diketahui oleh para survivor dan saksi-saksi sejarah pembantaian massal di seluruh bumi pertiwi Indonesia, khususnya di Bali yang memilih senyap meski hati mereka berteriak memohon ruang bebas untuk bercerita? Buku ini menjadi satu sarana mereka untuk bertutur dan akhirnya terkuaklah bahwa di rentang tahun 1965-1969 Pulau Bali telah menjadi sebuah “Ladang Hitam”.
Saat meletusnya G30S, Bali menjadi salah satu daerah dengan “penyembelihan” terganas terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan dan anggota PKI, penuh dengan jejak darah pembantaian dan kuburan massal yang ada di hampir semua jengkal desa-desa di Bali. Soe Hok Gie dalam sebuah essainya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali saat hari-hari mencekam 1965-1966 di Bali sbb.;
“Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakan apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumbuhan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali. Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu.”
Atau simaklah sebuah pengakuan dan penuturan seperti ini;
“Saya berasal dari Bangli. Konon katanya pada waktu itu banyak orang yang diculik dan dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh. Saat itu kakek saya adalah seorang Jero Mekel dan juga polisi pamong praja yang mempunyai banyak pengayah yang harus menjaga kestabilan, keamanan dan ketenangan di wilayahnya. Kakek sering bercerita bahwa pada waktu itu situasi sangat gawat dan genting sekali. Banyak kepala keluarga yang ditangkap dan diculik kemudian dibunuh, bahkan ada yang langsung dibunuh di depan rumahnya sendiri dengan digorok, diklewang atau ditembus dengan timah panas, disaksikan oleh anak dan istrinya.
Orang yang bertugas menculik dan membunuh ketika itu dikenal dengan istilah tameng. Istilah ini begitu terkenal di desa saya dan sampai sekarang masih melekat. Para tameng yang masih hidup sekarang kebanyakan hidupnya tidak karuan dan terlunta-lunta, bahkan ada yang sangat menderita. Mungkin itu karena karma yang harus mereka tanggung akibat membunuh orang-orang yang tidak berdosa.”
Sebuah Referensi
Buku “Ladang Hitam di Pulau Dewa” karya I Ngurah Suryawan ini, setidaknya bisa menjadi sebuah referensi bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah G30S PKI, apa yang terjadi di balik Gerakan Satu Oktober, di mana saja orang-orang dibantai pada saat itu dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Referensi ini sangatlah penting, terutama bagi para pemuda zaman sekarang, karena minim sekali sejarah yang menceritakan secara rinci kejadian yang sebenarnya.
Dalam buku ini juga dibicarakan mengenai politik ingatan. Dikatakan demikian karena akan diuraikan kesaksian seorang mantan Bupati Jembrana pada tahun-tahun genting dan hilang dalam sejarah politik Bali. Ia adalah IB Gde Dhoster yang yang akrab dipanggil Pak Dhoster. Ia mantan Bupati Jembrana Tahun 1960-1967. Segudang kesaksian dan ingatan Pak Dhoster ini diharapkan akan memberikan perspektif baru dalam pengetahuan sejarah di Bali.
Pembantaian massal pasca G30S PKI 1965, merupakan sejarah buruk yang terjadi di negeri ini. Ratusan ribu jiwa manusia yang di-PKI-kan melayang tanpa memperoleh keadilan. Tragedi ini sungguh merupakan kisah kelam, bukan hanya bagi para korban tetapi juga bagi bangsa ini. Buku ini merekam beragam kisah pedih yang terjadi di Bali, salah satu wilayah di mana pembantaian itu terjadi.
Dengan perspektif studi antropologi kekerasan, buku ini membongkar mitos tentang kekerasan yang terjadi di Bali pada tahun 1965 sebagai proses alamiah, argumentasi keseimbangan alam, dan mitologi letusan Gunung Agung yang meminta korban. Mitos-mitos itu tak lebih sebagai sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh para penguasa saat itu.
Jadi, buku sangat penting untuk generasi muda kini. Dapatkan buku ini hanya di Gramedia Pusat Kota Denpasar, Matahari Duta Plaza Lt. Basement.

Posted by PuJa on September 29, 2010
Judul : Ladang Hitam di Pulau Dewa
Pembantaian Massal di Bali 1965
Pengarang : I Ngurah Suryawan
Penerbit : Galang Press
Tebal : 264 halaman
Tahun : Cetakan I, 2007
Peresensi: Made Suardana
http://www.balipost.com/

Resep Sayur Rambanan Khas Bali

Resep Masakan Indonesia
Resep Masakan – Sayur Rambanan Khas Bali

Bahan Sayur Rambanan :
  • Kecambah ¼ kg
  • Kacang panjang 4 ikat
  • Nangka muda ½ kg
  • Minyak goreng ¼ gelas
  • Kelapa ¼ butir
Bumbu Sayur Rambanan :
  • Bawang merah 10 buah
  • Laos 1/2 rsj
  • Bawang putih 5 siung
  • Daun salam 2 lembar
  • Lombok merah 2 buah
  • Sereh 1 batang
  • Lada ¼ sendok teh
  • Garam 1 sendok makan
  • Kunyit 1 rsj
  • Tepung beras 2 sendok makan
  • Jahe ½ rsj
  • Terasi 1 sendok teh
  • Kencur ½ rsj
Cara Membuat Sayur Rambanan Khas Bali :
  1. Semua bahan sayuran direbus satu persatu sampai masak. Kelapa diparut dibuat santan 2 gelas.
  2. Bawang merah 5 buah dan 2 siung bawang putih diiris tipis lalu digoreng sampai kuning.
  3. Sisa bumbu lainnya diulek halus dan diberi tepung yang dicairkan dengan santan dan dimasak agak kental, baru diangkat.
  4. Kacang panjang dipotong-potong, begitu pula nangkanya ditaruh diaatas piring yang sedikit cekung, diatasnya diberi bumbu yang sudah kental dan diatas bumbu diberi bawang goreng.
  5. Bermacam-macam sayuran rebus dapat dimakan dengan saos ini.

MENYOAL SAMPAH DI PANTAI KUTA BALI

Pemerintah kota Bali dan khususnya dunia pariwisata Indonesi, cukup di buat kalang kabut dengan adanya pemberitaan oleh Majalah Times yang menyatakan Bali sabagai sebuah wisata Neraka. Hal ini dikarenakan adanya penumpukan sampah yang cukup banyak di sepanjang pantai Kuta yang sudah sangat meresahkan kita semua.

Sentilan dari Times ini tentu saja membuat kita semua terperanjat dan segera melakukan aksi untuk memperbaiki situasi yang ada agar dampak arus kunjungan wisata ke pulau Bali dan Indonesia pada umumnya tidak menjadi menurun drastis.
Persoalan sampah adalah merupakan persoalan kita semua, bukan hanya dalam dunia pariwisata tapi dalam sektor lain sepanjang manusia itu hidup dan berada.
Sampah pasti akan terjadi dengan sendirinya, dan ini harus kita carikan jalan yang terbaik agar kita bisa mengatur dan mengolah sampah menjadi sesuatu yang berguna untuk kepentingan semua orang.
Bali dengan pantai Kuta yang sudah menjadi icon pariwisata Indonesia, dengan timbulnya masalah sampah ini, tentu saja akan mempengaruhi dampak kunjungan wisata, walaupun mungkin tidak akan terlalu terlihat drastis. Tetapi ini semua harus menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah dan semua sektor yang terlibat didalamnya untuk secara serius menangani sampah agar image pariwisata di Indonesia tidak menjadi rusak dan kotor oleh sampah.
Keberadaan sampah dalam satu objek wisata tidak dapat kita hindari, tapi harusnya ini menjadi perhatian yang serius oleh setiap pengelola objek wisata.
Dalam dunia pariwisata kita mengenal adanya istilah “ Community Based Development”. Dimana pengembangan suatu kawasan wisata sepenuhnya di serahkan kepada masyarakat sebagai pengelola dan menjaga keberadaan objek wisata tersebut.
Pemerintah melalui dinas Pariwisata hanya memfasilitasi dan menjembatani antara objek wisata dengan para pengunjung atau wisatawan untuk dapat datang ke objek wisata tersebut.
Dengan cara ini maka peran pemerintah dan masyarakat sangat erat kaitannya dan saling berkesinambungan, sehingga keberadaan objek wisata tersebut selain menguntungkan bagi pemerintah juga bagi masyarakat sekitar yang secara langsung merasakan adanya perkembangan objek wisata tersebut.
Indonesia sebetulnya tidak perlu merasa kuatir dengan adanya pemberitaan oleh majalah Times yang menyoalkan tentang sampah di pantai Kuta ini. Tetapi justru adanya pemberitaan tersebut harus membuat pemerintah dan masyarakat membuktikan kemampuan dalam menangani sampah sehingga yang tadinya terkesan kumuh dan kotor dapat kembali bersih dan nyaman, berkat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.
Sekaranglah saatnya yang paling pas untuk membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia bukabn hanya sebuah objek wisata saja yang menjadi kebanggaannya, tetapi lebih dari itu, keberadaan objek wisata membawa dampak positif terhadap masyarakat pada umumnya.
Solusi yang paling pas untuk mengatasi banyak timbunan sampah di pantai Kuta Bali ini, adalah dengan melakukan gerakan turun langsung ke pantai bersama-sama dengan semua unsur pariwisata di pantai Kuta dan Bali pada umumnya, untuk melakukan gerakan pembersihan sampah secara bersama-sama.
Setelah gerakan pembersihan sampah ini selesai dilakukan, barulah semua pihak duduk bersama untuk membahas solusi yang terbaik agar kejadian penumpukan sampah ini tidak terjadi kembali di pantai Kuta.
Barulah pada saat ini, semua aspek yang terlibat dalam dunai pariwisata dan para pakar serta ahli lingkungan hidup, bersama-sama merumuskan langkah yang paling tepat untuk mengatasi sampah dan mencari solusi yang terbaik untuk semua pihak.
Selanjutnya pengawasan keberadaan sampah dan juga lainnya, oleh pemerintah sebagai fasilitator menjembatani dan sepenuhnya diserahkan langsung kepada masyarakat yang terlibat langsung dengan para wisatawan sehari-harinya.
Artinya untuk dalam pengawasan agar tidak terjadi kembali adanya penumpukan sampah di pantai ini, maka peran masyarakat sangat dibutuhkan. Masyarakatlah nantinya yang akan membuat aturan dan ketentuan tentang sampah ini yang harus di pahami oleh semua pihak yang berada di pantai Kuta tersebut.
Dengan cara sepertinya, maka diharapkan orang akan segan untuk membuat sampah sembarangan, karena adanya pengawasan dari masyarakat langsung, sehingga hal ini akan membuat para wisatawan pun ikut mematuhi semua ketentuan yang telah dibuat selama mereka berlibur di pantai tersebut.
Inilah mungkin makna yang terkandung dari Community Based Development ini, dimana peran masyarakat pada akhirnya akan sangat menentukan. Pemerintah hanya memfasilitas berbagai sarana dan pra sarana untuk menunjang kegiatan tersebut berjalan dengan lancar dan baik.
Inti dari semua persoalan sampah ini, pada akhirnya adalah untuk kemajuan dan kebaikan dunia pariwisata di Indonesia dan khususnya di pantai Kuta Bali. Untuk itu masyarakat pariwisata di kota Bali pun harus terus menyadarkan dirinya bahwa keberadaan objek wisata ini selain berdampak ekonomi bagi masyarakat juga ada dampak sosial dan lingkungan, yang harus secara terus menerus diawasi dan dilindungi oleh masyarakat, dan untuk masyarakat pariwisata itu sendiri.
Penulis : alumnus STPB’ 95
Foto gambar diambil dari : stevenwilliam

Pertambahan Hotel di Bali yang Semakin Tidak Teratur


"Di Bali menjamur hotel yang menawarkan harga per kamar di bawah Rp 300 ribu. Dengan kondisi demikian, seharusnya banyak hotel merugi, tetapi nyatanya mereka bisa bertahan. Bisa jadi, uang yang diinvestasikan merupakan hasil pencucian uang dan korupsi," katanya saat menjadi pembicara pada Seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, di Denpasar, Rabu (15/8/2012).
Menurut Pembantu Rektor I Unud ini, meskipun Pemprov Bali menetapkan moratorium hotel, namun pertambahannya tidak terkontrol, tingkat hunian dan tarif hotel rendah serta persaingan yang tidak sehat.
"Pemerintah tidak memiliki cetak biru akomodasi hotel, bukannya karena otonomi daerah, tetapi karena tata kelola pemerintahan yang tidak sehat," ujarnya pada seminar serangkaian Dies Natalis ke-50 Unud itu.
Vila tumbuh menjamur, lanjut dia, tetapi tidak banyak menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan. Pemerintah tidak mampu mengendalikannya melalui kebijakan dalam ketenagakerjaan maupun keuangan.
"Ini adalah pertanda adanya gerakan bawah tanah (underground) atau ekonomi bayangan (shadow economy) yang berdampak buruk bagi perekonomian daerah. Kemungkinan, mereka yang melakukan pencucian uang sengaja menginvestasikan dananya dalam bentuk properti dan hotel di Bali," katanya.
Ia juga meminta Pemprov maupun Pemkab dan Pemkot untuk jeli melihat, apakah berkorelasi positif peningkatan pajak hotel dan restoran (PHR) dengan menjamurnya akomodasi wisata.
"Jangan-jangan akomodasi wisata yang diduga hasil pencucian uang banyak tidak berizin serta tidak membayar pajak. Memang, itu tentu memerlukan pembuktian lebih lanjut," ucapnya.
Namun, yang jelas, kata Bendesa, pemerintah sudah sepatutnya memperkuat pengawasan dalam bidang akomodasi wisata agar persaingan yang tak sehat di masyarakat tidak menjadi bertambah parah.
"Saya juga melihat dampak kurang tegasnya pemerintah terlihat pada banyak arsitektur bangunan yang tidak mencerminkan budaya Bali," ujarnya.
Ia menambahkan, terkait dengan hotel, vila, dan akomodasi pariwisata lainnya yang terkonsentrasi di tiga daerah, yakni Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar, itu merefleksikan masih ada kebijakan salah arah dan atau lemahnya pengawasan.
"Sektor pariwisata perlu dikembangkan terus, tetapi dengan arah yang jelas. Masalahnya bukan berada pada sektor pariwisata itu sendiri, tetapi kebijakan pemerintah yang tidak efektif serta lambat dalam merespon perkembangan yang muncul sehingga dampak negatif yang ditimbulkan menjadi luas dan menyebar pada aspek lainnya," kata Bendesa.


Obyek Wisata Nusa Lembongan


Pesona keindahan Nusa Lembongan kini sudah tidak asing lagi di telinga setiap orang yg berkunjung ke Bali. Bali yang biasanya dikenal dengan deburan ombak pantai Kuta, pesona kecantikan Pura Tanah Lot, keagungan Pura Besakih atau romantisme sunset di pantai Dreamland.. kini dilengkapi dengan pesona keindahan alam Nusa Lembongan dengan pasir yang putih serta wisata bahari yang akan membuat liburan Anda menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Nusa Lembongan adalah salah satu pulau kecil dari tiga pulau kecil yang terletak di sebelah tenggara Bali, yakni: Nusa Pedida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Gugusan tiga pulau yang merupakan bagian dari Kabupaten Klungkung dipisahkan dari Pulau Bali dengan Selat Badung. Untuk mencapai Nusa Lembongan, dari Bali harus menyeberangi selat kecil dari Pelabuhan Padangbai – Karangasem atau dari Sanur – Denpasar dengan waktu tempuhnya sekitar 1 – 1,5 jam dengan biaya berkisar 25.000 – 50.000 dengan public boat.
Tidak seperti di Kuta, Tanah Lot, Dreamland.. sesampainya di Nusa Lembongan, Anda akan disambut pantai yang berpasir putih dengan laut yang jernih dengan berbagai jenis ikan berwarna-warni serta trumbu karang yang indah dan beraneka warna… alamnya yang masih “perawan” yang belum tersentuh oleh tangan-tangan jahil, tetapi walaupun masih alami di sana sudah dilengkapi beberapa fasilitas yang siap memanjakan Anda seperti: hotel/bungalow, restoran, tempat pertunjukan kesenian, sampai objek wisata laut untuk menyelam dan menyaksikan terumbu karang yang indah di dalamnya.
So buat yg pengen mengisi liburan ke Bali.. tidak ada salahnya berkunjung ke Nusa Lembongan..

Tari Joged

tari1
Seni tari tidak bisa terlepas dari budaya yang menghasilkannya. seni tari mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti dalam konteks ritual, dalam hal ekspresi estetik murni, maupun sebagai media komunikasi personal maupun kolektif. Namun dinamika budaya masyarakat ikut membawa perubahan – perubahan pada seni tari. Perubahan itu terjadi, baik pada aspek bentuk, fungsi, maupun maknanya.
Ragam dan gaya seni tari adalah kristalisasi dari nilai-nilai budaya masyarakat pendukungnya. Seni tari Bali dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu :
1.Tari Wali, yaitu tari yang berfungsi sebagai sarana atau pelaksana upacara agama. Contohnya : Tari Rejang dan Tari Sanghyang.
2.Tari Bebali, yaitu tarian yang berfungsi sebagai penunjang jalannya upacara yang dalam pementasannya memakai lakon. Contohnya : Tari Topeng.
3.Tari Balih – balihan, yaitu tarian yang tidak tergolong tari Wali dan Tari Bebali yang khusus dipertunjukkan untuk hiburan. Contohnya : Tari Joged.
Dalam buku Dance and Drama in Bali menyatakan tari joged merupakan satu-satunya tarian yang bisa dikategorikan sebagai tarian sosial di Bali dengan varian yang mencakup Gandrung, Oleg, Leko dan Andir, dimana tarian ini dimulai dengan penampilan tarian solo dalam style legong yang sangat jelimat. Tarian ini diiringi dengan gamelan bambu, penari joged ini mengenakan hiasan kepala seperti helm, dengan mahkota melengkung kedepan menyentuh hiasan yang melingkar hingga ke bagian kepala yang ditutup dengan bunga cempaka atau kamboja yang berlapis-lapis. Tarian joged sekarang ini sedang marak-maraknya dengan pertunjukan goyangan ngebor untuk menarik perhatian penonton, dibandingkan dengan tari joged yang terdahulu dimana zaman dalu tarian joged hanya menggunakan egolan kesamping kanan maupun kiri dan dilihat perkembangannya tarian joged sekarang ini lebih banyak menonjolkan gerakan-gerakan erotis goyang pinggul yang memiliki daya rangsang terhadap penonton.
Istilah tari joged dalam bahasa Indonesia terdiri dari kata tari dan joged. Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang dituangkan melalui gerak ritmis yang indah, sedangkan kata joged merupakan tari tandak dan ranggeng, berjoged ( menari ) menurut pengertian, joged merupakan tarian yang sangat demonstratif, lincah dan tanpa cerita. Tari joged dikatakan sebagai tarian rakyat yang berfungsi sebagai hiburan atau tari pergaulan ( Drs. Soedarsono ). Pernyataan yang ada dalam buku Diskripsi Tari Bali menyatakan bahwa secara etimologi kata Joged berarti Tari ( tarian wanita ). Joged dipakai untuk menyebutkan sebuah seni pertunjukkan yang memiliki aspek-aspek tari sosial yang tinggi nilainya setelah seorang penari joged menyelesaikan sebuah tarian tunggal yang abstrak bentuknya. Dalam tarian Joged “ ngibing “ merupakan ajakan penari joged kepada penonton untuk menari bersama-sama diatas panggung, dan kadang-kadang bisa terjadi kontak tangan, kadang kala mereka melakukan tarian sejenis tarian bercinta, namun jika mencoba untuk bagian-bagian terlarang penari joged, maka ia akan terkena pukulan kipas dari penari joged.
Jenis-Jenis Tari Joged Tari Joged ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
1.Joged Pingitan Joged Pingitan ini pada awalnya merupakan tari pergaulan yang diayomi di lingkungan istana dan sekarang menjadi tarian yang disakralkan. Misalnya di banjar Pekuwudan Sukawati.
2.Adar, Tokohan, Udegan Merupakan tari pergaulan yang sudah dipelihara oleh masyarakat banyak.
3.Andir Merupakan sejenis tari pergaulan yang pementasannya dikaitkan dengan ritual keagamaan atau kepercayaan.
4.Gandrung Merupakan sejenis tari pergaulan yang ditarikan oleh kaum laki-laki, namun pada saat sekarang tarian ini berkembang menjadi tarian yang ditarikan oleh kaum perempuan.
5.Joged Bungbung Suatu tari pergaulan yang berfungsi sebagai hiburan dimana penyebarannya sangat luas hampir di seluruh Bali.

Musium Bali


Ide awal untuk mendirikan museum di Bali disebabkan oleh adanya gejala semakin banyak benda-benda budaya Bali dibawa ke luar negeri. Sesuai dengan gejala yang disinyalir oleh Bosch, apabila hal tersebut tidak diantisipasi, maka akan terjadi suatu proses pemiskinan kebudayaan.
Gagasan untuk mendirikan museum ini muncul atas prakarsa oleh Asisten Residen Bali dan Lombok bernama Mr. W.F.J. Kroon yang pada saat itu berkedudukan di Singaraja. Untuk mewujudkan bangunan tersebut dibentuk suatu perkumpulan bernama Yayasan Bali Museum. Anggotanya terdiri dari Dr. W.F. Stutterheim, Walter Spies, Dr. R. Goris, Ir. Th.A. Resink serta pecinta kebudayaan Bali antara lain I Gusti Alit Ngurah dan I Gusti Bagus Negara. Kepada mereka dipercayakan suatu tanggung jawab guna mengemban serta mencegah mengalirnya benda-benda budaya keluar Bali, karena sudah tersedianya wadah untuk menyelamatkan benda tersebut sehingga pemiskinan budaya Bali dapat dihindari.
Gagasan tersebut direalisasikan pada tahun 1910 dengan mempercayakan penanganan bangunan museum kepada undagi (arsitek) I Gusti Ketut Kandel dari Banjar Abasan dan I Gusti Ketut Rai dari Banjar Belong, dibantu oleh putra-putra Bali lainnya. Sebagai konsultan teknis untuk segi persyaratan museum adalah seorang arsitek berkebangsaan jerman bernama Curt Grundler.
Setelah melalui tahapan pengerjaan disertai kerja keras, akhirnya bangunan museum pada areal seluas 2.600 m2 yang berarsitektur tradisional Bali dengan perpaduan pola pura (tempat suci agama Hindu) dan puri (istana raja) ini selesai. Pada tanggal 8 Desember 1932 museum ini dibuka untuk umum dengan nama Bali Museum dibawah pengawasan Yayasan Bali Museum. Selanjutnya tanggal 5 Januari 1965, Bali Museum diserahkan secara resmi kepada pemerintah pusat dibawah naungan Lembaga Museum-museum Nasional dan dalam tahun 1966 selama kabinet Ampera dijadikan Direktorat Permuseuman yang berada dibawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak itu nama Bali Museum disempurnakan menjadi Museum Bali.
Seiring dengan pengembangan museum Bali, muncul gagasan untuk mendirikan museum negeri dan museum daerah yang lain di Bali. Demikian juga tidak ketinggalan para pemerhati seni berupaya ikut membantu pemerintah dalam pengembangan dan pembinaan museum, hal ini dapat dilihat dari mulai berdirinya museum-museum swasta. Museum-museum tersebut antara lain :
1. Museum Bali
Museum Bali adalah salah satu diantara museum-museum di Bali yang mempunyai corak dan koleksi yang berbeda. Museum ini didirikan untuk mengantisipasi proses pemiskinan budaya Bali dan menyelamatkan benda-benda warisan budaya yang tak ternilai keagungannya sebagai hasil karya seni pembuktian kebesaran masyarakat Bali. Setelah Bali di kuasai oleh Belanda tahun 1910 warisan budaya tersebut mulai berpindah dan diboyong keluar Bali. Museum Bali adalah museum pemerintah dibawah teknis pengawasan Departemen Pariwisata dan Budaya
a. Lokasi Museum
Lokasi Museum Bali berada di kawasan budaya, karena lingkungan di sekitar Museum Bali terdapat suasana budaya Bali dengan keberadaan Pura Jagatnata yang terletak di sebelah utara museum.
b. Bangunan Bangunan Museum
Gedung atau ruang pameraan museum terdiri dari Ruang Gedung Timur Atas dan Bawah, Ruang Gedung Buleleng, ruang Gedung Karangasem dan Ruang Gedung Tabanan. Ruang lain yang dimiliki oleh Museum Bali antara lain ruang Koperasi, Gedung Preparasi dan Konservasi dan tempat penyimpanan koleksi, ruang koleksi, auditorium dan ruang tata usaha, ruang bimbingan dan perpustakaan, kolam, padmasana, bale bengong dan ruang terbuka / taman. Koleksi museum disajikan dalam vitrin-vitrin yang ditata pada dinding ruangan. Luas areal Museum Bali : 6000 m2.
c. Koleksi Museum Bali
Koleksi yang ada pada museum Bali terdiri dari :
* Koleksi Historika yang meliputi koleksi prasejarah, koleksi sejarah
* Koleksi Numismatic seperti mata uang logam, uang bolong
* Koleksi Kramologika meliputi keramik yang terbuat dari tanah liat.
* Koleksi Fililogika seperti naskah kuno.
* Koleksi Etnografi meliputi pehiasan diri, peralatan rumah tangga, senjata dan peralatan upacara.
* Koleksi Kesenian meliputi seni rupa, peralatan tari dan tabuh.

2. Museum Le Mayeur
Museum Le Mayeur dikelola oleh pemerintah di bawah koordinasi Museum Bali. Pengelolaan museum ini di ambil alih oleh pemerintah setelah meninggalnya pemilik museum dengan tujuan agar kolaksi museum tetap terjaga dan terawat sehingga tetap dapat menjadi salah satu obyek wisata kawasan wisata Sanur. Berdasarkan koleksi yang dimiliki Museum Le Mayeur termasuk dalam museum khusus dan museum memorial karena khusus mengoleksi lukisan dan perabotan yang dipakai Le Mayeur semasih hidup.
a. Lokasi Museum
Museum Le Mayeur berlokasi di Jalan Hang Tuah, Pantai Sanur. Museum ini didirikan pada tahun 1957 setelah secara sah mendapat akte dari Menteri Pendidikan yang menjabat pada masa itu. Museum Le Mayeur ini berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan, merawat, melestarikan dan mengkomunikasikan benda lukisan hasil karya Le Mayeur.
b. Bangunan-bangunan Museum Le Mayeur
Bangunan yang dijadikan museum adalah sebuah rumah tinggal milik Le Mayeur sendiri yang pada awalnya dengan kondisi yang sangat terbatas untuk menyimpan karya lukisan yang cukup banyak. Dalam perkembangan selanjutnya setelah Le Mayeur meninggal, rumah tinggal tersebut menjadi ruang utama museum dan di bangun beberapa bangunan baru antara lain Bale Pecanangan untuk menghaturkan sesaji, Bale Bengong tempat untuk latihan menari.
c. Koleksi Museum Le Mayeur
Koleksi Museum Le Mayeur berupa koleksi lukisan hasil karya Le Mayeur. Jumlah lukisan yang dipamerkan sampai saat ini sebanyak 89 buah lukisan yang dibuat selama Le Mayeur menetap di Bali. Benda-benda koleksi selain lukisan yang dipamerkan dalam museum antara lain almari, meja, piring, guci, kursi. Benda-benda ini adalah perlengkapan rumah tangga yang pernah digunakan oleh keluarga Le Mayeur. Semua benda koleksi ini dipamerkan dalam gedung pameran dan Bale Pecanangan.
3. Museum Gedong Arca
Museum Gedong Arca merupakan Museum Purbakala yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Belahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pendirian Museum Gedong Arca dirintis pada tahun 1958-1959 oleh Dr R.P. Soejono sebagai Kepala Kantor Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Cabang II Gianyar dan sebagai realisasi pendiriannya pada tanggal 14 September 1974 Museum Gedong Arca ini diresmikan oleh Gubernur Bali yang dijabat oleh Bapak Sukarmen. Museum Gedong Arca ini berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan, merawat, melestarikan dan mengkomunikasikan benda-benda purbakala meliputi wilayah Bali dan Lombok yang berlokasi di Bedulu Gianyar.
a. Bangunan-bangunan Museun
Museum Gedong Arca yang dibangun di atas tanah seluas 2.564 m2 di desa Bedahulu Gianyar ini merupakan tonggak penting dalam sejarah pelestarian peninggalan purbakala yang meliputi wilayah Propinsi Bali, NTT dan NTB, sehingga museum ini memiliki nilai histories yang sangat tinggi.
Secara umum Museum Gedong Arca terbagi dalam tiga zone yaitu zone Gedung Kantor, zone Gedung Arca dan Balai Penyelamatan Benda-benda Purbakala. Kantor pengelola berada dalam areal dengan letak paling selatan dari site bangunan museum. Bagian tengah adalah komplek Gedung Arca yang terbagi dalam tiga halaman dan paling utara adalah Balai Penyelamatan Benda-benda Purbakala.
Tiga halaman Gedong Arca yang disesuaikan dengan pembagian halaman pura di Bali yaitu halaman luar, halaman tengah dan halaman dalam. Halaman luar terdapat tiga buah bangunan yaitu wantilan, tempat penjualan tiket dan bale kulkul. Pada halaman tengah terdapat lima buah bangunan, dimana satu bangunan berada ditengah dan empat bangunan berada di empat sudut halaman. Gedung pada halaman tengah digunakan untuk ruang pameran dan salah satu gedung difungsikan sebagai gudang. Pada bagian halaman dalam ditengah-tengah terdapat sebuah kolam dan taman berbentuk segi empat. Pada halaman dalam terdapat tujuh buah bangunan yang dipergunakan untuk pameran tetap dan tempat suci.
b. Koleksi Museum
Koleksi Museum Gedong Arca adalah benda-benda purbakala yang berasal dari seluruh Bali. Benda-benda koleksi diperoleh dengan cara mengadakan penggalian di lapangan. Koleksi yang terdapat di museum ini adalah benda-benda yang berasal dari masa prasejarah dan sejarah. Jenis benda koleksinya antara lain alat-alat rumah tangga, alat-alat untuk berburu, menangkap ikan, bercocok tanam, alat untuk keperluan kepercayaan dan agama.
c. Pengelola
Museum Gedong Arca dikelola dan diatur oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Wilayah Propnsi Bali yang bernaung dibawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Derektorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4. Museum Puri Lukisan Ratna Wartha
Lokasi Museum Puri Lukisan terletak di Desa Ubud dan Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Lokasi museum ini sangat strategis berada diatas tanah munduk yaitu sebidang tanah dengan keadaan yang agak tinggi di kelililingi oleh semak, jurang, sawah dan sungai. Bangunan ini berdiri diatas tanah seluas 100 are pada ketinggian 300 m diatas permukaan laut dan temperatur rata-rata 280C. Setiap gedung menampilkan wajah tradisional Bali.
Museum Puri Lukisan adalah suatu tempat yang berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan, merawat, melestarikan dan mengkomunikasikan benda lukisan dan benda seni lain hasil karya para seniman yang tergabung dalam kelompok seniman seni lukis, seni pahat, seni patung dan kerajinan yang berlokasi di Ubud, Gianyar.
Museum ini dibangun merupakan gagasan dari tokoh masyarakat Ubud Tjokorda Gede Agoeng Soekawati yang bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan hasil karya seni dan mengangkat kesejahtraan para seniman. Bidang seni yang telah berkembang dan mendapat perhatian untuk lebih dikembangkan adalah seni lukis, seni pahat, kerajinan emas, perak dan tenun.
a. Bangunan dalam Komplek Museum
Kompleks bangunan yang dimiliki oleh Museum Puri Lukisan yang dibangun pada areal seluas 13.500 m2 terdiri dari beberapa gedung :
1. Gedung Induk untuk kepentingan edukatif, kultur dan kamar penyimpanan koleksi termasuk perawatannya.
2. Gedung sayap kiri tempat pameran koleksi terpilih dan bermutu tinggi, baik patung maupun lukisan.
3. Gedung sayap kanan merupakan pusat kegiatan para seniman dan seniwati dalam berkarya seni.
4. Sebuah bangunan barang-barang souvenir semuanya berupa barang-barang contoh untuk dijual.
5. Tempat tiket terletak di bagian depan jembatan museum, sebuah toilet
6. Komplek bangunan pameran sementara yang terdiri dari sebuah wantilan, sebuah balai panjang yang digunakan untuk kegiatan pameran temporal.
b. Koleksi Museum
Koleksi Museum Puri Lukisan antara lain koleksi seni lukis mulai dari lukisan tertua sampai lukisan terbaru. Koleksi seni patung , koleksi seni pahat dan kerajinan. Koleksi lukisan tertua yang dimiliki berasal dari tahun 1931 karya alm. Ida Bagus Made Kembeng dan koleksi patung tertua dari tahun 1932 karya Ida Bagus Ketut Gelodog
c. Pengelola
Museum Puri Lukisan adalah museum swasta berada dibawah pengelolaan Yayasan Ratna Wartha. Tugas dan kewajiban pengelola adalah melaksanakan aturan dan tata tertib organisasi, memilih dan mengadakan penilaian terhadap hasil karya seni dan mengadakan hubungan antar daerah atau negara di dunia dalam rangka promosi, mengadakan pameran dan sebagainya.
Selain tersebut diatas, berikut merupakan Museum-museum lainnya yang ada di Bali antara lai
5. Museum Gedong Kirtya
-          Lokasi : Singaraja,  Kabupaten Buleleng
-          Didirikan : tahun 1928
-          Pendiri : Yayasan Van Deer Tuuk
-          Status : Museum Daerah yang dikelola Pemda Tingkat I Bali
-          Koleksi : berupa pustaka lontar yang berjumlah ± 5000 buah
6. Museum Manusa Yadnya
-          Lokasi : Mengwi,  Kabupaten Badung
-          Didirikan : tahun 1974
-          Pendiri : Pemda Tingkat II Badung
-          Status : Museum Daerah, yang dikelola Pemda Tingkat II Badung
-          Koleksi : berjumlah 137 buah yang terdiri dari :
Kelompok koleksi upacara Manusa Yadnya mulai dari upacara     magedong-gedongan sampai upacara perkawinan.
Kelompok koleksi upacara Pitra Yadnya yaitu kelanjutan upacara Manusa Yadnya terdiri dari upacara Ngaben dan Memukur.
7. Museum Subak
-          Lokasi : Desa Sanggulan,  Kediri, Tabanan
-          Didirikan : tahun 1980
-          Pendiri : Pemda Tingkat I Bali
-          Status : Museum Daerah yang dikelola Dinas Kebudayaan Bali
-          Koleksi : koleksi yang berhubungan dengan alat-alat pertanian   tradisional dan Subak.
8. Museum Neka
-          Lokasi : Ubud,  Kabupaten Gianyar
-          Didirikan : tahun 1982
-          Pendiri : Pande Wayan Suteja Neka
-          Status : Museum Swasta yang dikelola Yayasan Dharma Seni
-          Koleksi : berupa lukisan karya pelukis terkenal seperti I Gusti Nyoman Lempad, Arie Smith, dan lain-lain yang berjumlah 312 buah
9. Museum Perjuangan
-          Lokasi : Desa Klaci, areal Makam Pahlawan Margarana, Tabanan
-          Didirikan : tahun 1983
-          Pendiri : Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP) Bali
-          Status : Museum swasta yang dikelola YKP Bali
-          Koleksi : peralatan perang, radio untuk militer, pakaian seragam pejuang kemerdekaan, senjata, beberapa lukisan, patung dan lainnya
10. Museum Patung Widya Kusuma
-          Lokasi : Br. Nyuh Kuning, Desa Lodtunduh, Kabupaten Gianyar
-          Didirikan : tahun 1990
-          Pendiri : Nyoman Sujendra
-          Status : Museum swasta, dikelola Yayasan Desa Adat Nyuh Kuning
-          Koleksi : berupa patung-patung yang dikerjakan pemahat di Ubud
11. Museum Semarajaya
-          Lokasi : Semarapura, Kabupaten Klungkung
-          Didirikan : tahun 1992
-          Pendiri : Pemda Tingkat II Klungkung
-          Status : Museum Daerah yang dikelola Pemda Tingkat II Klungkung
-          Koleksi : berupa benda-benda prasejarah dan sejarah, serta barang kerajinan khas Klungkung yang berjumlah 59 buah.
12. Museum Manusia Purba
-          Lokasi : Gilimanuk, Kabupaten Jembrana
-          Didirikan : tahun 1992
-          Pendiri : Pemda Tingkat II Jembrana
-          Status : Museum Daerah yang dikelola Pemda Tingkat II Jembrana
-          Koleksi : berupa alat-alat dari batu, kapak, patung dari batu dan fosil manusia pithecantropus dengan jumlah koleksi 60 buah
13. Museum Seni Lukis Klasik Bali
-          Lokasi : Desa Takmung, Kabupaten Klungkung
-          Didirikan : tahun 1992
-          Pendiri : Drs. Nyoman Gunarsa
-          Status : Museum swasta tingkat lokal
-          Koleksi : berupa karya seni lukis klasik Bali, patung, keris tradisional, wayang yang berjumlah 166 buah
14. Museum Sidik Jari
-          Lokasi : Jl. Hayam Wuruk, Tanjung Bungkak, Denpasar
-          Didirikan : tahun 1994
-          Pendiri : I Gusti Ngurah Gede Pemecutan
-          Status : Museum swasta yang dikelola Yayasan Kerti Budaya
-          Koleksi : berupa lukisan yang dibuat dengan ujung jari dan karya seni lainnya dengan jumlah koleksi 102 buah
15. Museum Rudana
-          Lokasi : Peliatan Ubud, Kabupaten Gianyar
-          Didirikan : tahun 1995
-          Pendiri : I Nyoman Rudana
-          Status : Museum swasta yang dikelola Yayasan Seni Rudana
-          Koleksi : berupa lukisan karya pelukis terkenal seperti I Gusti Nyoman Lempad, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made Wija, Affandi, Basuki Abdullah, Fajar Sidik dan lain-lain yang berjumlah 245 koleksi
16. Museum Seni Agung Rai “ARMA”
-          Lokasi : Peliatan Ubud, Kabupaten Gianyar
-          Didirikan : tahun 1996
-          Pendiri : Anak Agung Gede Rai
-          Status : Museum swasta yang dikelola Agung Rai
-          Koleksi : berupa lukisan sebanyak 55 buah
17. Museum Bali Bird Park
-          Lokasi : Desa Singapadu,  Kabupaten Gianyar
-          Didirikan : tahun 1995
-          Pendiri : Putu Sidarta
-          Status : Museum swasta
-          Koleksi : berbagai jenis binatang dari seluruh dunia
18. Museum Renaissance “Blanco”
-          Lokasi : Desa Campuhan Ubud, Kabupaten Gianyar
-          Didirikan : tahun 1999
-          Pendiri : Don Antonio Blanco
-          Status : Museum swasta
-          Koleksi : berupa lukisan hasil karya Antonio Blanco semasih hidup
19. Museum Marka
-          Lokasi : Desa Kemenuh, Kabupaten Gianyar
-          Pendiri : Ida Bagus Marka
-          Status : Museum swasta
-          Koleksi : berupa patung-patung hasil karya Ida Bagus Marka
20. Museum Kupu-kupu
-          Lokasi : Desa Bedugul, Kabupaten Tabanan
-          Status : Museum Daerah yang dikelola Pemda Tingkat II Tabanan
-          Koleksi : berupa binatang kupu-kupu dari seluruh Indonesia dan beberapa negara di dunia
Sumber : Landasan Konsepsual Perancangan Tugas Akhir “Museum Kerajinan Emas dan Perak di Celuk-Gianyar” oleh I Gde Pande Juliawan dan Himusba th. 2004


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

INFO PENTING

Kami sampaikan kepada semua pengunjung TNBA Blog, bahwa Kami disini bukanlah Pencipta Artikel ataupun Uploder, kami hanyalah Finder Artikel dan Juga Link - link terkait yang kami Posting. Admin adalah BLOGER Baru yang berasal dari PULAU DEWATA dengan Tujuan mulia untuk membantu Masyarakat untuk menemukan Artikel-artikel yang diinginkan dengan Mudah tanpa mengambil keuntungan dari semua Postingannya.

Salah satu Sumber kami :
1. www.parisada.org
2. singaraja.wordpress.com
3. piswayang.blogspot.com
4. www.stitidharma.org

Trima kasih atas perhatiannya

Admin

Bisnis Online

BALI

=====BALI=====

Bali adalah Pulau yang sering disebut dengan Pulau Seribu Pura, ini semua karena memang di Pulau ini memiliki banyak sekali Bangunan Pura Yang Megah di Setiap Lokasi di Setiap Desanya. Hal ini tidak terlepas dari Mayoritas penduduknya menganut Agama Hindu,,Hhhhmmmmmm kalau saya Bahas Bali disini akan sangat panjang, Kalau Agan2 Mau tau Bali seperti apa,,.??? Baca Postingan dari "TIANG NAK BALI AGA", temukan Informasi tentang Bali disini.

Suksma

Kategori

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Kunjungan

Followers

 

Visitors

free counters

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger