Minggu, 23 September 2012

Sungai Gangga

Sungai Gangga

Sejak jaman purba terdapat keyakinan bahwa air sungai Gangga itu mempunyai kekuatan melebur dosa dan kenodaan rohani dan jasmani.
Di dalam Veda-Veda, kemudian di dalam Mahabharata, mulai dan ceritera pertama sampai terakhir, kesucian dan sifat melebur dosa air sungai Gangga itu selalu disebut-sebut.
Airnya itu, baik untuk menyucikan diri sendiri, maupun untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal. Di dalam setiap upacara penyucian, nama Gangga, baik sebagai Dewi maupun sebagai sungai, tidak pernah absen untuk dipuja.
Di Alam Dewa sungai kenamat itu disebut Alakananda, di alam Pitri disebut Vaitarani. Sedangkan nama lain untuk Gangga pada umumnya adalah Bhagirathi.
Sungai besar dan suci itu mempunyai tujuh aliran anak sungai, dan masing-masing mempunyai kekuatan melebur dosa. Nama-nama dan ketujuh cabangnya itu, yaitu: Gangga, Yamuna, Saraswati, Vitastha, Sarayu, Gomati, dan Gandaki.
Dikatakan bahwa dengan terkena pecikan air sungai-sungai itu yang dimohon dengan upacara, akan dapat menjauhkan diri kita dari bencana, dan apabila meminum airnya, akan tenbebaslah kita dari pengaruh penbuatan dosa (demikian Adi Parwa CLXXII. hal. 340, Pratap Chandra Roy).
Gangga ialah sungai di India Utara dan oleh pejabat dan menurut pemerintahan India sebagai sungai nasional Bharat. Dalam Hinduisme, Gangga juga disembah sebagai dewi. Sungai ini adalah sungai suci bagi yang beragama hindu. Sejak jaman purba terdapat keyakinan bahwa air sungai Gangga itu mempunyai kekuatan melebur dosa dan kenodaan rohani dan jasmani. Di dalam Veda-Veda, kemudian di dalam Mahabharata, mulai dan ceritera pertama sampai terakhir, kesucian dan sifat melebur dosa air sungai Gangga itu selalu disebut-sebut.





Airnya itu, baik untuk menyucikan diri sendiri, maupun untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal. Di dalam setiap upacara penyucian, nama Gangga, baik sebagai Dewi maupun sebagai sungai, tidak pernah absen untuk dipuja. Di Alam Dewa sungai kenamat itu disebut Alakananda, di alam Pitri disebut Vaitarani. Sedangkan nama lain untuk Gangga pada umumnya adalah Bhagirathi.





Sungai besar dan suci itu mempunyai tujuh aliran anak sungai, dan masing-masing mempunyai kekuatan melebur dosa. Nama-nama dan ketujuh cabangnya itu, yaitu: Gangga, Yamuna, Saraswati, Vitastha, Sarayu, Gomati, dan Gandaki. Dikatakan bahwa dengan terkena pecikan air sungai-sungai itu yang dimohon dengan upacara, akan dapat menjauhkan diri kita dari bencana, dan apabila meminum airnya, akan terbebaslah kita dari pengaruh penbuatan dosa

Minggu, 09 September 2012

Pemahaman Tentang Tuhan dan Dewa

1. Dalam kisah Ramayana dan Mahabrata atau kisah-kisah lainnya, sering tersirat bahwa di antara Dewa seperti ada hubungan yang terpisah… seperti pada bagian Dewa Indra berusaha membantu Arjuna dengan meminta pusaka yang dimiliki Karna sejak lahir, di mana Karna merupakan keturunan dari Dewa Surya…
Seolah-olah dalam cerita ini Dewa-Dewa tersebut memang berbeda, sedangkan keyakinan dalam agama Hindu bahwa Tuhan hanya satu tetapi disebut dengan banyak nama.
Makna apa sebenarnya yang ada dalam hal ini? Apakah Dewa itu memang berbeda? Dan apakah Dewa itu memang punya keturunan?
2. Dalam cerita Ramayana diceritakan bahwa Dewa Brahma menciptakan Kumba Karna yang sangat besar sehingga membuat panik para Dewa. Kenapa Kumba Karna yang merupakan ciptaan Dewa Brahma seolah-olah tidak dapat dikendalikan oleh-Nya?
3. Apakah cerita dalam Epos atau Purana memang terjadi seperti itu di waktu dulu. Atau cerita tersebut cuma dibuat untuk pemahaman tentang ajaran agama agar mudah ditangkap dan dipahami?
4. Saya juga ingin bertanya tentang keyakinan bahwa orang Bali/ Hindu tidak boleh makan daging sapi. Benarkah seperti itu? dan apa yang mendasarinya?
ANSWER:
1. Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi Wasa) memang satu/ tunggal. Untuk pemahaman kepada umat manusia, dijelaskan dalam Weda Parikrama bahwa Tuhan dalam pandangan agama Hindu mempunyai delapan jenis kekuatan/ kemampuan yang luar biasa yang disebut Asta Aiswarya:
  1. Anima (sangat halus)
  2. Laghima (sangat ringan)
  3. Mahima (sangat besar)
  4. Prapti (menjangkau semua tempat)
  5. Isitwa (melebihi segalanya)
  6. Prakamya (berkehendak mutlak)
  7. Wasitwa (sangat berkuasa)
  8. Kamawasayitwa (kodrati, tak dapat diubah).
2. Mahabharata dan Ramayana adalah Itihasa, yaitu sejarah yang berkaitan dengan Upaweda, di mana untuk mewujudkan salah satu atau beberapa Asta Aiswarya, Hyang Widhi telah menjadi Dewa (Div) atau beberapa Dewa-Dewi dengan “fungsi” berbeda bahkan ada yang berlawanan.
Di Bali dikenal ada Dewa Semara dan Dewi Ratih, atau Hyang Kumara dan Bhatara Kala sebagai wujud rua-bhineda (dua hal yang selalu berbeda).
3. Pengertian Putera tidaklah berarti anak yang lahir dari hubungan badan ayah dan ibu, tetapi suatu kekuatan atau wujud yang lahir dari Div-Asta-Aiswarya.
4. Sapi dalam catur weda disebutkan sebagai “Ibu” (yang menyusui) atau penyangga alam yang memberikan kehidupan kepada manusia, karenanya harus disucikan, dihormati, dan dilimpahi kasih sayang.
Misalnya disebutkan antara lain dalam: Rg Weda 10.176.1, Atharwa Weda 3.28.4, Yayur Weda 23.48 dan Sama Weda 176.
Dalam perkembangan sejarah Agama Hindu di Bali, sapi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Lembu yang berwarna putih, yang dapat diperah susunya, dan banteng yang berwarna merah, umumnya tidak diperah susunya.
Tafsir-tafsir tentang Sapi baik yang ada dalam Catur Weda maupun dalam Upanisad adalah sapi jenis Lembu.

Cerita-Cerita Tentang Amrta

1. AMRTA, Energi hidup yang keluar dari Giri Mandara
Pada bagian permulaan dari Astika Parwa (Adi Parwa), diceritakan para Dewa bersepakat untuk memutar Gunung Mandara, atas petunjuk Brahman. Oleh Dewa-Dewa, Gunung yang hebat itu diangkat dan diletakkan di atas punggung Kurmagni.
Selanjutnya para naga diperintahkan untuk mengikatnya erat-erat. Setelah berdiri stabil, Gunung itu lalu diputar dan keluarlah dari dalamnya berbagai jenis benda-benda berharga seperti berjenis-jenis batu permata dan logam-logam mulia.
Pada putaran-putaran berikutnya, keluar dari dalamnya kuda putih cemerlang yang dinamakan Ucchaisrava, kuda tersebut menjadi kendaraan dewata yang dapat melesat terbang seperti kilat.
Setelah kuda Ucchaisrava ini keluar, para Dewa menjadi letih dan hampir putus asa. Akan tetapi mereka berdoa dan memohon kekuatan (energi) kepada Brahman.
Energi diturunkan dan mereka mendapatkan cukup kekuatan untuk melakukan pemutaran selanjutnya. Putaran-putaran yang terakhir inilah yang memunculkan AMRTA dari dalam Gunung Mandara tersebut.
Seketika setelah AMRTA itu keluar, terjadilah pertempuran sengit di antara para Dewa dan Asura memperebutkan AMRTA itu.
Perebutan ini dimenangkan oleh para Dewa, dan AMRTA tersebut setelah semua Dewa sempat menikmatinya, sehingga perwujudannya menjadi kekal, lalu disimpan di pusat Alam Brahman dengan dijaga seketatnya.
2. RESAKUNDA, Tirtha anugerah Raja Naga
Masih di dalam Adi Parwa, diceritakan Bhima setelah menjadi pemuda remaja dan mendapat gemblengan ilmu-ilmu keperwiraan, menjadi sedemikian gagah perkasa sehingga sangat ditakuti oleh kaum Kaurawa, khususnya oleh Duryodhana.
Pada suatu kesempatan, ketika para Pandawa dan Kaurawa berlibur dan bermain-main di suatu taman pemandian, Bhima diracun oleh Duryodhana. Setelah pingsan dan diikat, ia dilemparkan ke dalam sungai tanpa diketahui oleh siapa pun juga.
Tubuh Bhima yang berat tenggelam dan seketika itu pula diserang oleh ular-ular sungai yang berbisa. Bisa ular sungai itu ternyata merupakan penawar bagi bisa (racun) tumbuh-tumbuhan yang telah dimakannya.
Bhima sadar dan dilihatnya seekor ular besar datang mendekati dirinya. Ia berontak, tali-tali pengikatnya putus dan langsung menyerang ular yang ternyata menyerang dirinya juga.
Terjadilah pergulatan seru di dalam air yang dalam itu. Ular melarikan diri, Bhima mengejar dan masuk ke dalam sebuah gua di bawah air. Di dalam gua itu Bhima berhadapan dengan Naga Vasuki yang ternyata masih bersaudara dengan Dewa Vayu.
Bhima dikenalnya dan disambut dengan ramah, bahkan ia diberi hadiah batu permata anti racun dan semacam AMRTA yang disebut RASAKUNDA.
Sejak saat itu Bhima tidak termakan oleh racun dan memiliki tenaga hebat setara dengan kekuatan sebanding dengan kekuatan seribu ekor gajah.
3.    KAMANDALU, Tirta anugrah Dewata
Masih sehubungan dengan Bhima, ksatria kedua Panca pandawa, diceritakan di dalam cerita DEWA RUCI yang terkenal itu.
Bhima yang kekuatannya tidak ada tandingan dan anti racun itu ternyata menurut Gurunya, Rsi Drona, masih memerlukan kekebalan kulit agar tubuhnya tidak bisa dilukai oleh senjata apapun juga, walaupun senjata itu dipasupati dengan mantra-mantra.
Oleh Guru Drona, Bhima diperintahkan untuk mencari Tirtha Dewata itu, tanpa diberitahukan di mana harus mencari dan bagaimana bisa dicari. Pertama-tama, Bhima menuju sebuah gunung keramat, yang tidak pernah dikunjungi orang karena dijaga oleh dua raksasa jahat.
Ia mendaki gunung tersebut dan bertempur melawan kedua raksasa itu. Setelah kedua raksasa itu berhasil ditewaskan, ternyata mereka adalah dua Gandharwa yang terkena kutukan Dewata dan hidup sebagai raksasa.
Oleh Gandharwa itu, Bhima diajarkan beberapa mantra, khususnya mantra-mantra yang mempunyai arti betapa besar pahalanya apabila seorang murid taat sepenuhnya kepada perintah Guru betapa sulit pun perintah itu dilaksanakan.
Kedua Gandharwa itu juga menyarankan agar mencari Tirtha yang diperlukan itu di laut, tempat Guru Rupaka dan Bhima itu bermukim.
Sebelum berangkat ke laut, Bhima sempat kembali ke istana dan bertemu dengan saudara-saudaranya. Keempat saudara-saudaranya menghalangi niat Bhima yang rupa-rupanya sudah mencium ketidakjujuran dari Guru Drona. Dalam keragu-raguannya, Bhima lalu menghadap kepada Dhritarastra yang adalah Guru Wisesa pada waktu itu.
Ternyata raja Dhritarastra pun sependapat dengan Drona, yaitu Bhima harus mendapatkan Tirtha Kamandalu itu. Oleh karena itu Bhima segera berangkat ke laut. Ia langsung masuk ke laut, tenggelam setinggi pinggang, dan berdiri di sana.
Dalam keputusasaannya ia lalu ingat mantra-mantra yang diajarkan oleh Gandharwa yang diselamatkannya. Ia memuja Naga Vasuki, memuja Dewa Bayu, memuja Indra dan akhirnya Surya dalam perwujudan Guru Druva Rsi.
Ketika Bhima terserap dalam yoga yang dalam, tiba-tiba muncul di hadapannya Dewata kerdil tetapi bersinar gilang-gemilang (di Indonesia dan juga di Bali, Dewa ini dikenal dengan nama Dewa Ruci). Dewa Ruci memerintahkan kepada Bhima agar masuk ke dalam perutnya melalui mulutnya yang ternyata kecil sekali.
Bhima ragu-ragu, tetapi akhirnya masuk juga, dan ternyata di dalam perut Dewata Kerdil itu terlihat Alam Semesta Raya yang luas dan menjulang tinggi. Bhima dibimbing naik setingkat demi setingkat, serta diberikan penjelasan-penjelasan secara mendetail.
Di Alam Dewa-Dewa, yang juga dinamakan Alam Pramana, Bhima menerima Tirtha Berkah Dewata yang disebut Tirtha Kamandalu, yang dapat memberikan kesentosaan dan kesejahteraan lahiriah, khususnya buat Bhima sendiri, kekebalan tubuh yang luar biasa.
Tirtha yang diterimanya itu dibawanya pulang dan dipersembahkan kepada Guru Drona dengan disaksikan oleh Dhritarastra. Selanjutnya, kita pun mengenal cerita kecurangan Kaurawa berkenaan dengan Tirtha yang didapatkan oleh Bhima ini.
4. PANCA TIRHTA di lereng PANCA-GIRI, kelompok Tirtha untuk menyucikan Bhuta dan Kala
Di dalam Pustaka PURVA-BHUMI, yaitu Pustaka Suci yang menjadi pegangan utama para Rsi Bhujanga, diceritakanlah penciptaan Manusia dan makhluk-makhluk Roh yang diklasifikasikan sebagai Bhuta dan Kala.
Lima Dewata putra Brahman, yaitu Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana, diperintahkan untuk menciptakan makhluk-makhluk untuk mengisi Bumi ini.
Kelima Dewata itu turun dan mewujudkan diri sebagai lima Rsi, yaitu: Rsi Korsika, Rsi Garga, Rsi Maitri, Rsi Kurusya dan Rsi Pratanjala. Dan kelima para Rsi tersebut, hanya Pratanjala yang menciptakan Manusia, sedangkan yang lain menciptakan makhluk-makhluk roh yang aneh-aneh, baik bentuk maupun tabiatnya.
Manusia yang diciptakan oleh Rsi Pratanjala itu mempunyai pula jasad roh yang mempunyai sifat-sifat komplit, dan dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga sama dengan Dewa-Dewa dan bahkan melampauinya.
Manusia dapat menyempurnakan rohnya mulai dari mengabdikan diri kepada para Dewa, kemudian bersahabat dengan mereka, untuk akhirnya bahkan memerintah Dewa-Dewa itu.
Tetapi sebelum kesempurnaan sedemikian itu bisa dicapai, para Dewa itu akan menguji keteguhan imannya, menugaskan makhluk-makhluk aneh itu mengganggunya. Roh manusia yang jatuh ke tingkat rendah, untuk beberapa waktu lamanya akan dibatasi kebebasannya oleh Dewa Yama.
Setelah batas waktu itu berakhir, roh itu mendapat pengampunan dan dibebaskan. Pada saat inilah ia harus segera dilukat, yaitu lapisan jasad paling di luar dibakar dengan api-yoga, lalu dimandikan, agar bisa bergerak ke alam yang lebih tinggi.
Apabila hal ini tidak dilakukan, roh itu akan bergabung dengan makhluk-makhluk jahat ciptaan para Rsi di atas tadi, mengganggu ketertiban setiap upacara yang dilakukan, dan berusaha merebut Tirtha Panglukatan yang bukan menjadi haknya.
Di dalam upacara-upacara, roh-roh yang suka mengganggu itu ditangani oleh Rsi-Bhujangga, dengan memperingatkan kepada mereka rahasia penciptaan, dan selanjutnya dibantu untuk mendapatkan Tirtha yang menurut Pustaka Purva Bhumi terdapat di lima Gunung (Panca Giri), yaitu:
  1. Tirtha Sveta Kamandalu di Gunung Indrakila, dijaga oleh Indra dan Sanghyang Iswara (Sadyojata).
  2. Tirtha Ganga Hutasena di Gunung Gandharnadana, dijaga oleh Bamadewa.
  3. Tirtha Ganga Suddha-mala di Gunung Pgat (Udaya), dijaga oleh Tatpurusa.
  4. Tirtha Ganga Amrta-Sanjivani di Gunung Rayarnukha, dijaga oleh Aghora.
  5. Tirtha Ganga Amrta-jiva di Gunung Kailasa dijaga bersama, Ardhanareswari.
Setelah menerima Tirtha-Tirtha itu, lapisan paling luar jasad roh itu disucikan, dengan demikian mereka mampu berangkat ke alam yang lebih tinggi, atau kembali ke Alam masing-masing menghadap Maharaja Penguasanya.
Secara khusus Upacara Penyucian ini dilakukan pada hari raya Nyepi, dan juga dilakukan menjelang dilakukan upacara-upacara penting lainnya.
Besar kecil upacara ini diatur menurut kepentingan, namun prinsipnya tetap sama. Roh-roh yang sudah disucikan itu tidak akan mengganggu lagi, bahkan akan membantu kelancaran jalannya upacara-upacara selanjutnya.

YUDISTIRA DAN DRUPADI

Yudistira dan DrupadiLuh Made Sutarmi
Buah yang kita tanam di lembah keputusasaan adalah makanan yang kita makan di puncak gunung. Kata orang bijak, putus asa dan kekacauan pikiran selalu datang menghiasi kita, lalu apakah ini menarik untuk kita kenang. Itulah kehidupan, dia harus ditatap seperti air yang mengalir, dalam dimensi ruang dan waktu yang masih tersisa saat ini, banyak kegagalan dan harapan tidak tercapai, namun orang langsung putus asa. Putus asa juga pernah mampir di hati Yudistira. Sebagai manusia kondisi itu alamiah, namun Yudistira saat ini merenung dan karena hatinya galau, saat Bima mendapat giliran untuk tidur dengan Drupadi. Drupadi, istri dari kelima bersudara itu sering menghadirkan rasa cemburu di antara mereka, walaupun itu tidak diungkap secara nyata. Sebagai manusia, perasaan itu pasti muncul namun pengendalian emosi adalah cerita yang selalu hadir ketika kita menyimak kehidupan Panca Pandawa.
Drupadi menjalani kehidupan poliandri. Seorang istri memiliki lebih dari satu suami. Kondisi ini bukan tanpa alasan, yakni sebagai wujud kesetiaan Panca Pandawa pada janji untuk setia pada kata-kata Ibu mereka. “Apa pun yang engkau dapatkan harus engkau bagi sama rata dengan saudara-saudaramu.” cerita kemudian menjadi tambah pelik, saat yang didapat adalah seorang gadis. Konsekwensinya adalah itu pun harus dibagi sama, karena dalam hati Pandawa hanya bersuara “hormati ibu sebagai Tuhan, Mitru dewa bawa”. Namun, kondisi Drupadi sering diknitik oleh para pemikir saat mi, bahwa poliandri Drupadi keliru. Namun, sebagai masyarakat manusia haruslah arif bahwa poliandri memang pernah ada dalam sistem komunitas manusia, dan sisa-sisa itu masih ada di Amerika Utara sampai saat ini, seperti suku Mamot.
Drupadi wanita cantik, dan membuat banyak laki-laki mengidolakannya. Hasrat laki-laki Yudistira pun memuncak, ketika untuk pertama kalinya Bima mendapat giliran meniduri Drupadi. Ada semacam perasaan lain muncul dalam hatinya, dia cemburu, dan juga marah, namun semua sifat itu mampu dikendalikan sebagai bentuk penghormatan kepada janji yang telah diikrarkan. Hidup adalah permainan oleh karena itu nikmatilah sebagai bentuk permainan, hidup itu memang indah, namun sering menjebak emosi manusia yang mengikuti indria.
Yudistira merenung dan jantungnya berdetak. Oh malam ini jiwa ini ragu, membayangkan engkau Drupadi diantar oleh Bima ke kamarnya, engkau dituntun ke pura, aku bayangkan bahwa engkau rajin membuat banten, dan tidur dengan suamimu yang baru, yang mulai engkau cintai karena kekuatannya. Lalu, Yudistira berpikir dalam hati, “Apakah aku harus datang untuk merebutmu, walaupun aku punya hati dan cinta, masihkah aku tega melihat kamu menderita harus berpisah dengan orang yang bertanggung jawab atas semua kekuranganmu.?”
Kalau itu terjadi, Kami akan dihina sebagai bangsa ksatria, mereka pasti meneteskan air mata duka, air mata penyesalan, betapa egoisnya aku. Betapa aku egois, betapa Aku tidak tahu malu. Ibu yang lebih dahulu membukakan jalan kemudian ibu yang menutup episode yang tidak baik ini. Ibu juga yang mengangkatmu agar suci, agar tidak jatuh ke dasar jurang, lalu kenapa orang tua seperti itu harus kita marahi, kita kutuk, betapa mulia hatinya sebenarnya. Ayahmu juga begitu, dia ingin melepaskan episode yang sangat menjengkelkan ini. Lalu apa yang harus engkau lakukan sekarang? Menjadi bijaksana semacam Bhagawan Biasa, yang tenang dan damai. Bantulah dia sepenuhnya, apa yang kamu bisa berikan, berikanlah padanyá. Demikianlah hati Yudistira berkecamuk. Jalankanlah niatmu itu, agar dia bahagia, lentik bulu matanya, memelas untuk menjadikan engkau pujaannya, rasa iba membuat engkau bijak. Inilah saatnya engkau menjadi manusia super, manusia yang penuh dengan kebijaksanaan.
Yudistira, terkesiap, ingat kata-kata ibu Kunti, “Saat sekarang betapa engkau ingin bahagia, ingin bisa menerima semuanya, dengan kata-kata yang indah. Engkau pernah berucap, puaslah dengan apa yang kita miliki sekarang biarlah hidup itu mengalir. Mengalir apa pun yang terjadi itu bukan kehendak kita. Setelah ingat itu dia berucap dalam hati. Semoga engkau bahagia, bahagia, semoga bahagia, aku hadapi dengan dada yang dingin kondisi ini, dengan pikiran yang suci dan pikiran apa adanya. Kini walaupun engkau bergelut dengan Bima, aku memandang itu wajar.
Angin utara berdesir sejuk, lalu melampiaskan banyak pasir yang menganga dalam hati, dia menyirami hati yang duka, kini berangsur-angsur sembuh, terima kasih guru, aku sudah bisa tenang. Ketenangan ini semoga bisa bertahan lama. Kata Yudistira dalam lamunannya. Hati yang luka sudah mulai mengering, tak ada yang menjadi beban. Hotel Indra Pura sudah berdebu, pantai sanur sudah remuk, dan Pura Ponjok Batu sudah bersih. Aku mulai menatapnya dengan indah.
Aku menatap wajah ibu Kunti yang semakin bersemi, semakin berkesan dialah pujaan hatiku, ketika aim ditinggalkan oleh kedukaan atas kematian ayah. Hanya dia yang bisa menghibur hatiku, ketika aku digusur dari Astina hanya dia yang menjadi tumpuan hatiku, aku berlabuh di pantai idamannya, aku bangga punya keluarga inilah kekayaanku terbesar. Ketika Drupadi ikut dalam keluargaku, dia juga yang menjadi mutiara kehidupanku, karena kecemburuanku bukan kekayaanku, dia adalah semacam kerikil dalam perjalanan kehidupanku, Maafkanlah Tuhan, aku telah terselip dan kini aku kembali ke jalan yang engkau kehendaki. Aku sadar-sadar, dan sadar. Terima kasih Tuhan. Om Gam Ganapatayenamaha. Raditya – 136 November 2008.

Pis Bolong Padma/Teratai

Pis Bolong Padma/Teratai


Padma/Teratai adalah lambang tempat singasana ida sang hyang widhi wasa sebagai pencipta, selain itu 8 kelopak dan 1 titik di tengah padma tersebut melambangkan ke 9 dewa-dewa yg beristana di masing-masing arah penjuru angin yg lebih di kenal dgn dewata nawasanga.pis bolong padma ini dipercaya memiliki fungsi sepiritual utk kedamaian,penangkal ilmu hitam,dan sebagai sarana pemusatan pikiran dlm melakukan yoga semadhi.

Pis Bolong Gajah

Pis Bolong Gajah


Pis Bolong Gajah
Dalam mitologi Hindu, Airawata (Sansekerta: ऐरावत; Airāvata) adalah nama seekor gajah putih, wahana Dewa Indra. Airawata merupakan putera dari Irawati, salah satu puteri Daksa. Dalam mitologi Hindu sering digambarkan bahwa Airawata ditunggangi oleh Indra yang membawa senjata Bajra, sambil membasmi makhluk jahat. Menurut mitologi Hindu, Airawata merupakan salah satu gajah penjaga alam semesta. Ia dianggap sebagai pemimpin para gajah.

Pis Bolong Dewi Bulan

Pis Bolong Dewi Bulan


Dewi Bulan :
Dewi Bulan atau dewi Ratih dalam kebudayaan Hindu Jawa dan mitologi Bali. Dikatakan juga bahwa ia adalah dewi kecantikan. Mitos terkenal mengennai dewi Ratih adalah tentang gerhana bulan. Pada saat gerhana, dewi Ratih yang berlari di kahyangan tertangkap oleh Kala Rau. Ia dikejar karena ialah yang memberi tahu dewa Wisnu bahwa Kala Rau hendak minum dari Tirta Amertha (Air kehidupan abadi).

Pis Bolong Dewi Bulan :
Pis Bulan Adalah pis bolong yg bergambar dewi bulan(bhatari ratih) pada satu sisi.pis bolong dewi bulan di percaya mempunyai kekutan magis untuk wanita agar terlihat lebih cantik dan menarik,maka pis dewi bulan ini sangat cocok dipakai oleh seorang wanita.

Pis Bolong Yudistira

Pis Bolong Yudistira


Bhatara Wisnu :
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (Dewanagari: विष्णु ; Viṣṇu) (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.

Pis Bolong Wisnu :
Pis bolong wisnu dipercaya mempunyai fungsi magis untuk penjaga diri,untuk memberikan ketenagan dan kedamaian hati bagi yg pemiliknya.

Pis Bolong Wisnu

Pis Bolong Wisnu



Bhatara Wisnu :
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (Dewanagari: विष्णु ; Viṣṇu) (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.

Pis Bolong Wisnu :
Pis bolong wisnu dipercaya mempunyai fungsi magis untuk penjaga diri,untuk memberikan ketenagan dan kedamaian hati bagi yg pemiliknya.

Pis Bolong Jaran & Padang

Pis Bolong Jaran & Padang



Pis Bolong Jaran Adalah Pis bolong yg bergambar jaran.pis bolong ini mempunyai fungsi magis untuk membuat kita cepat dan bertenaga seperti kuda.pis jaran sangat cocok dimiliki oleh seorang olahragawan atau atlet agar bisa mempuyai stamina dan kecepatan selayaknya seekor kuda yg cepat dan tak kenal lelah dalam berpacu.bagi orang yg memakai pis jaran sebagai jimat hendaknya juga harus mempunyai pis padang (rumput) sebagai pelengkapnya atau pasangannya karena jika tidak dipasakan akan menyebabkan orang yg memakinya akan botak jika trus memakainya tampa dipasangkan dengan pis padang.

Pis Bolong Dewata Nawasanga

Pis Bolong Dewata Nawasanga


Dewata Nawasanga :
Nawa Dewata atau Dewata Nawa Sanga adalah sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu Dharma di Bali. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya.
1 Bagian-bagian Nawa Dewata
1 Wisnu
2 Sambhu
3 Iswara
4 Maheswara
5 Brahma
6 Rudra
7 Mahadewa
8 Sangkara
9 Siwa
Pis Bolong Dewata Nawasanga :
Pis bolong dewata nawasanga adalah pis bolong yg berisi gambar senjata-senjata sembilan dewa yg berkuasa di sembilan penjuru mata angin pada satu sisinya dan aksara-aksara suci dewa tersebut pada sisi satunya lagi.pis ini dipercaya mempunyai tuah untuk menjaga diri,nerang ujan,dan untuk menambah kekuatan supranatural.

Pis Bolong Hanoman

Pis Bolong Hanoman


Hanoman :
Hanoman (Sanskerta: Hanumān) atau Hanumat (Sanskerta Hanumat), juga disebut sebagai Anoman, adalah salah satu dewa dalam kepercayaan agama hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana yang paling terkenal. Ia adalah seekor Kera putih dan merupakan putera Batara Bayu dan Anjani, saudara dari Subali dan Sugriwa. Menurut kitab Serat Pedhalangan, tokoh Hanoman sebenarnya memang asli dari wiracarita Ramayana, namun dalam pengembangannya tokoh ini juga kadangkala muncul dalam serial Mahabarata, sehingga menjadi tokoh antar zaman.Jadi siapa saja yang memiliki pis Anoman ini dipercaya memberikan kekuatan dan tenaga (supernatural) seperti angin selama diabdikan untuk kejujuran dan kesetian

Pis Bolong Hanoman :
pis Hanoman ini dipercaya bisa memberikan kekuatan dan tenaga (supernatural) seperti angin selama diabdikan untuk kejujuran dan kesetian

Pis Bolong Arjuna & Subadra

Pis Bolong Arjuna & Subadra


Pis bolong arjuna & subadra mempunyai tuah untuk mengharmonis pasangan suami istri atau sepasang kekasih agar hubungan mereka berdua bisa kekal abadi seperti layaknya Arjuna & Subdra

Pis Bolong Sangut

Pis Bolong Sangut


Sangut :
Sangut merupakan salah seorang tokoh punakawan (bahasa Bali: parêkan) dalam tradisi pewayangan di Bali. Dalam pewayangan, Sangut dilukiskan berbibir monyong dan berkulit kuning. Di antara para punakawan, tubuhnya yang paling kurus tapi perutnya besar. Dalam pertunjukkan wayang ia sering muncul bersama Delem dan melakukan dialog penuh lelucon.selain itu sangut sangat pintar dalam bersilat lidah,siapapun yg berdebat dengan pasti kalah dalam berdebat.

Pis Bolong Sangut :
Uang Kepeng/pis Sangut Ini sangat diminati oleh banyak orang karena memiliki kekuatan magis sama seperti tokoh Sangut dalam cerita pewayangan. Dengan membawa pis Sangut sebagai jimat maka orang akan menjadi sangat lihai dalam berdebat.

Pis Bolong Tualen

Pis Bolong Tualen



Tualen :
Tualen (tualèn) atau Malen merupakan salah satu tokoh punakawan (bahasa Bali parěkan) dalam tradisi pewayangan di Bali. Karakternya mirip dengan Semar dalam pewayangan Jawa. Dalam tradisi pewayangan Bali, Tualen digambarkan seperti orang tua berwajah jelek, kulitnya berwarna hitam, namun di balik penampilannya tersebut, hatinya mulia, prilakunya baik, tahu sopan santun dan senang memberi petuah bijak. Dalam tradisi pewayangan Bali umumnya, puteranya berjumlah tiga orang, yaitu: Merdah, Delem dan Sangut. Mereka berempat (termasuk Tualen) merupakan punakawan yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali.

Pis Bolong Tualen :
Pis Bolong Tualen yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Dipercaya bahwa dengan membawa pis Tualen ini orang akan merasa tenang saat berhadapan dengan situasi apapun. Ia akan disegani oleh musuh-musuhnya, serta mampu mempengaruhi pikiran dan pendapat orang lain.

Pis Bolong Panca Pandawa

Pis Bolong Panca Pandawa


Panca Pandawa :
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Yudistira,bima,Arjuna,Nakula &,Sadewa), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.

Pis Bolong Panca Pandawa :
Pis Bolong Panca Pandawa dinamakan demikian, karena pada permukaan trep terdapat gambar dari kelima ksatria putra Pandu, yaitu: Dharmawangsa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Pis ini dipercaya memiliki kekuatan gaib seperti kewibawaan, kekuatan, dan juga kebijaksanaan.

Pis Bolong Bima

Pis Bolong Bima


Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Pis Bolong Bima :
Pis Bolong Bima memiliki kekuatan gaib yang pada intinya menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Oleh karenanya, pis Bima sangat cocok dimiliki oleh orang yang mengemban tugas sebagai Pecalang. Di samping itu, bagi orang yang menjadikan pis Bima sebagai jimat akan menjadikan dirinya tangkas dan mahir dalam berperang. Begitu pula halnya dengan pis Anoman, keistimewaannya adalah mampu memberikan kekuatan dan tenaga seperti angin kepada orang yang membawanya.

Pis Bolong Kresna

Pis Bolong Kresna


Bhatara Kresna :
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri,[1] dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.[2] Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.

Pis Bolong Kresna :
fungsi pis bolong Kresna adalah sebagai penuntun ke arah kebajikan dan kebijakan. Dipercaya juga bahwa orang yang menjadikan pis Kresna sebagai jimat akan memiliki sifat-sifat mulia seperti selalu berpihak pada kebenaran, jujur, dan selalu menegakkan keadilan. Oleh karenanya benda ini sangat cocok dimiliki oleh seorang pemimpin.

Pis Bolong Arjuna ( Uang Bolong Arjuna )

Pis Bolong Arjuna


Arjuna (Sanskerta: अर्जुन; Arjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.

Pis Bolong arjuna :
Pis Bolong bergambar Arjuna ini dipercaya bisa digunakan untuk memikat gadis yang menjadi incaran sang pemuda. Dengan simbol sang Arjuna ini diyakini akan dapat memanah Jantung Asmara sang gadis.

Pis Wayang ( Uang Bolong Wayang )

Pis Wayang



Pis bolong mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1293 M semasa kejayaan
Majapahit. Berasal dari perdagangan antara Majapahit dengan Cina. Ketika itu
Majapahit belum mempunyai uang kartal. Maka digunakan uang kepeng sebagai alat
tukar dalam perdagangan. Perdagangan dimasa itu dikuasai oleh saudagar-saudagar
cina.
2. Pis bolong ada beberapa jenis :
- buatan Cina, dari zaman dinasti Tang, Sung dan Chin (756 M)
- buatan Jepang, dari zaman dinasti Tokugawa (1741 M)
- buatan Vietnam, tidak jelas ketika dinasti apa
- buatan Jawa dari zaman Walisongo (Islam, 1400 M) dengan huruf arab
- buatan para dukun di Bali sekitar abad ke 13
3. Pis bolong mula-mula digunakan sebagai uang kartal, berlaku di Bali sampai tahun
1950. Selain itu di Bali digunakan pula sebagai sarana upakara, karena
dianggap pis bolong mempunyai kekuatan magis.
4. Kemudian setelah tidak berfungsi sebagai uang kartal, pis bolong tetap digunakan
sebagai upakara hingga saat ini.
5. Pis bolong sebagai jimat dibuat oleh para balian/dukun di Bali disertai
pemasupati. Contohnya : pis jaran, pis dedari, pis rejuna, pis anoman, pis
kresna, pis tualen, pis jaring, pis gobogan, pis sangut, pis nawe sange dll.
6. Ada juga pis bolong yang dipandang sangat sakral karena datangnya secara gaib,
misalnya melalui wong samar, paica Ida Bhatara, dll.
7. Di zaman sekarang, pis bolong sudah hampir punah.
Maka dibuat tiruannya. PHDI Pusat sudah mengeluarkan keputusan paruman Sulinggih,
bahwa pis bolong sekarang sudah bisa diganti dengan uang logam yang berlaku
syah di Indonesia saat ini. Keputusan ini tertuang dalam
Kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu.

Memaknai Perayaan Saraswati Dengan Menjadi Generasi Muda Hindu Yang Suputra

Memaknai Perayaan Saraswati
Dengan Menjadi Generasi Muda Hindu Yang Suputra
Oleh : I Gede Sudarsana, S.Ag
(Yayasan Pendidikan Sorowako, Sul-Sel)
Perayaan hari suci keagamaan akan menjadi ceremony rutinitas yang tanpa makna, jika kita hanya berkutat pada ritual belaka tanpa menggali nilai-nilai filosofis yang dikandungnya, untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Sehingga hal ini dapat memberi spirit untuk mengurangi kehidupan yang nota bene sebagai ladang kita untuk berkarma baik (subha karma) agar kelak dapat kembali ke asal kita pada “Sangkan paraning dumadi”yaitu kepada sumber yang menyebabkan kita bisa hidup di dunia ini.
Pada hakekatnya banyak hal yang dapat kita maknai dengan perayaan hari suci Saraswati, salah satunya adalah dengan menjadi generasi muda Hindu yang Suputra (putra yang utama). Oleh karena dengan perayaan Saraswati seyogyanya kita termotivasi mengupgrade diri dengan menggali dan menguasai ilmu pengetahuan, baik dalam bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) maupun dalam bidang spiritual (keagamaan) karena kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi sebagaimana ungkapan “iptek tanpa agama menjadi buta dan agama tanpa iptek menjadi lumpuh”. Penguasaan iptek dan spiritualitas inilah kemudian diharapkan aplikasinya tidak menjadi bomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri, melainkan dapat membawa kedamaian dan keselamatan untuk semua. Karena sudah dapat dipastikan penguasaan iptek tanpa dibarengi penguasaan spiritualitas yang memadai akan membawa kehancuran, sebab rentan terjadi penyimpangan dalam penggunaannya, seperti misalnya penguasaan iptek dalam menciptakan bom, bukan digunakan untuk menjaga kedaulatan Negara (bela Negara dalam perang) melainkan digunakan untuk membunuh orang-orang yang tidak berdosa, hanya untuk tujuan rnenunjukkan ketidak puasannya pada pihak lain dan yang menjadi korban adalah orang yang tidak tahumenahu dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun di dunia ini. Hal ini dapat terjadi hanyalah sebagai akibat dan penguasaan iptek yang tanpa disadari oleh nilai-nilai spiritual atau keluhuran budhi, Jika sudah seperti ini maka harapan untuk menjadi generasi muda yang suputra menjadi jauh panggang dari api alias tidak akan pernah terwujud, alih-alih dapat menjadi suputra yang dicintai keluarga, masyarakat, dan bangsa malah bisa terjerumus menjadi teroris yang dicacimaki semua orang.
Mengapa menjadi orang yang suputra akan dapat memberikan pahala yang luar biasa tidak saja bagi pelakunya tetapi juga bagi orang tua dan keluarganya, sebab orang yang suputra adalah orang yang pandai/pintar dalam penguasaan iptek sekaligus berbudi baik/saleh. Dengan keluhuran budhinya/kesalehannya dan kepandaiannya tentu akan dapat membawa kebahagiaan dan kedamaian bagi semua orang. Bahkan di dalam kitab Slokantara 2, dinyatakan bahwa melakukan seratus yadnya dikalahkan pahalanya dengan mempunyai putra suputra, yaitu disebutkan sebagai berikut:
“Kunang ikang wang mayajna ping satus, alah ika pahalanya denikang wang manak-anak tunggal, yan anak wisesa”
artinya:
Ia yang melakukan seratus yadnya, dikalahkan pahalanya dengan orang yang mempunyai putra, walaupun seorang, asal saja putra itu saleh dan pandai (suputra). Dengan penguasaan iptek (kepandaian) dan dilandasi keluhuran budhi (kesalehan), sebagaimana suratan kitab Slokantara di atas, sangatlah penting dalam mengarungi samudra luas kehidupan ini sehingga kita dapat mendedikasikan diri sesuai dengan bidang yang kita tekun sebagai wujud yadnya, karena yadnya berupa ilmu pengetahuan jauh lebih mulia dan pada yadnya dalam bentuk materi, sebagaimana tersurat dalam kitab Bhagawad Gita sloka 33 sebagai berikut:
Srayan dravyamayad-yajnaj
jnanayajnah parantapa
sarwam karma ‘khlam partha
jnane perisamapyate
Artinya : “Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, oh Parta.
Merujuk pada suratan dua kitab suci di atas, jelaslah bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dilandasi keluhuran budhi, menyebabkan kita dapat menjadi anak yang suputra dan lebih lanjut lagi kita dapat melakukan yadnya yang sangat mulia melalui ilmu pengetahuan pula.
Akhirnya, semoga dengan momentum perayaan hari suci Saraswati yang dirayakan setiap enam bulan sekali yaitu setiap Saniscara Umanis Wuku Watugunung, dapat memberikan inspirasi bagi kita semua tiada henti-hentinya belajar sebagaimana disimbolkan dengan Genitri bahwa ilmu pengetahuan itu, tidak terbatas dan tidak akan ada akhirnya serta tidak akan habis untuk dipelajari. Semakin banyak yang tidak kita ketahui sebab wawasan kita kian terbuka bahwa ilmu pengetahuan itu tidak statis melajukan dinamis dan terus berkembang. Lain halnya dengan orang yang tidak mau belajar dan menutup diri terhadap informasi ia akan merasa sudah cukup mempunyai akal kepintarannya, merasa sudah banyak yang ia ketahui sebab wawasannya terkungkung ibarat katak dalam tempurung.
(Penulis adalah guru swasta pendidikan agama Hindu, mengabdi sejak tahun 1999).
Warta Hindu Dharma No. 525 September 2010.

''Padma Tiga'' Pura Besakih Sumber Kesucian, Pemujaan Tri Purusa

''Padma Tiga'' Pura Besakih Sumber Kesucian, Pemujaan Tri Purusa
PURA Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih adalah pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya.
Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Di Pura ini setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu.
Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar.
Pengamat agama dan budaya Ida Bagus Gede Agastia mengatakan bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusa yakni Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Tuhan Yang Mahaesa).
Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni.
Ida Bagus Agastia mengatakan palinggih padmasana merupakan sthana Tuhan Yang Mahaesa. Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.
Tuhan Yang Mahaesa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Siwa, Tuhan Yang Mahaesa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan dewa penguasanya. Dewa Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Dewa Mahadewa di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.
Tri Purusa tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru. ''Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan,'' ujarnya.
Sementara pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah, Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.
Dosen IHDN Denpasar Ketut Wiana mengatakan Pura Besakih sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali.
Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali. Kata Wiana, di Padma Tiga ini Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa, tiga manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tri artinya tiga dan purusa artinya jiwa. Tuhan sebagai Tri Purusa adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.
Palinggih padma paling kanan tempat memuja Sang Hyang Parama Siwa. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Sebab, alam yang tertinggi (Swah Loka) tak terjangkau sinar matahari sehingga berwarna hitam. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa. Busana yang dikenakan pada padma tengah itu berwana putih. Warna putih lambang akasa. Sedangkan, bangunan padma paling kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Busana yang dikenakan berwarna merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan-Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Jadi, palinggih Padma Tiga merupakan sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka. Karena itu dalam konsepsi rwa-bhineda, Pura Besakih merupakan Pura Purusa, sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.
Menurut Wiana, busana hitam pada palinggih Padma Tiga bukanlah simbol Dewa Wisnu, tetapi Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan Yang Mahaesa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari.
Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.
Padmasana yang berada di tengah, busananya putih-kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada padma paling kiri bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Sthitti dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti.
Sementara di kompleks Pura Besakih, manifestasi Tuhan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg, Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan Batara Iswara di Pura Gelap.
Di tingkat Pura Padma Bhuwana, Batara Wisnu dipuja di Pura Batur, simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Bhatara Iswara dipuja di Pura Lempuhyang Luhur, simbol Tuhan di arah timur dan Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa, simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan. Sementara di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Pura Kahyangan Tiga. [Balipost Minggu 1 Agustus 2010 (lun)].

Pura Ulun Danu Batur di Songan, Sumber Kehidupan Bali

Jagat Bali Pura Ulun Danu Batur di Songan,
Sumber Kehidupan Bali
''MANGKE nemuaken apan manira ngamertaning wong Bali kabeh, tan paran mapinunas mertha ring parhyangan nira ring Hulun Danu, ngawe gemuh ikang rat''. Itulah tertuang dalam kitab purana Pura Ulun Danu Batur di Songan.
26 September 2010 | BP
Jagat Bali Pura Ulun Danu Batur di Songan,
Sumber Kehidupan Bali
''MANGKE nemuaken apan manira ngamertaning wong Bali kabeh, tan paran mapinunas mertha ring parhyangan nira ring Hulun Danu, ngawe gemuh ikang rat''. Itulah tertuang dalam kitab purana Pura Ulun Danu Batur di Songan.
Berdasarkan prakempa pura itu membuat krama Bali berbondong-bondong melakukan yadnya di pura yang berlokasi di bibir timur Danau Batur tersebut. Selain pengempon pura (warga Songan), krama Bali termasuk sejumlah pejabat (bupati) sudah ngayah di Pura Kahyangan Jagat itu sebelum upacara Bhatara Turun Kabeh pada 19 September lalu. Ketua Panitia Pemugaran, I Kadek Ardi Negara, yang didampingi Dane Jro Gede Hulun Danu, mengatakan Ida Batara akan mesineb pada 29 September, tepatnya pada tengah malam. Pujawali dilaksakan setiap purnamaning Sasih Kapat.
Dalam kitab purana, dijelaskan keturunan yang menjadi punggawa di wilayah Bali seperti Klungkung, Karangasem, Gianyar, Payangan, Tampaksiring, Badung, Mengwi, Tabanan, Bangli, Buleleng, wajib menghaturkan Panca Wali Krama pada sasih dan purnama kapat. Berdasarkan kajian purana itu pula, semua kabupaten di Bali melakukan upacara bhakti penganyar.
Sesuai dengan piteket yang tertuang dalam prasasti dan purana, jika mereka melaksanakan kewajibannya maka kerahayuan, kesejahteraan masyarakat luas, para subak, akan tercapai.  Hal itu juga yang disampaikan Bhatara Gnijaya, di mana disebutkan bahwa Batara yang berstana di Pura Ulun Danu Batur merupakan sumber dari segala sumber kehidupan di Bali.
Menyimak dari dekat Pura Tri Kahyangan Jagat yang berada di hulunnya Danau Batur itu, dalam wewidangan (struktur) pura di sana terbagi dalam tiga halaman yang melambangkan sebagai tri mandala atau triloka yakni jeroan (swah loka), jaba tengah (bwuah loka) dan jabaan (bhur loka). Guna memberikan ruang bagi masyarakat, dan berstananya dewa dan Dewi Danuh (Betari Ulun Danu) dibangun padmasana, meru tumpang sebelas, tumpang sembilan, tumpang tujuh, meru tumpang lima dan tumpang tiga.
Selain meru yang berjejer di dereten utama mandala, di dalam pura juga terdapat bangunan suci berupa pesamuan agung, bangunan mondar- mandir, pepelik, gedong parucui, paruman agung, gedong linggih tribhuana, serta pamuspaan Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Palinggih-palinggih ini juga tertuang dalam petuah yang disampaikan Mpu Kuturan untuk menghormati bhaktinya ke Hyang Dewi Danuh.
Di sebelah selatan atau ulun Danu Batur di Songan juga terdapat pura Segara (petirtaan). Untuk memohon keselamatan. Sejak 19 September Umat Hindu yang tersebar di seluruh Bali bahkan sampai ada yang dari Lombok dan Jawa tanggil ke pura tersebut. Banyak petani (kelompok subak) membawa hasil panennya sebagai persembahan atas perairan yang selama ini dianugrahkan oleh Bhatara yang bersthana di Pura Ulun Danu Batur.
''Karena akulah memberikan kerahayuan untuk orang Bali, dengan memohon kerahayuan di bibir timur Danau Batur, dengan demikian akan menemukan kerahayuan, dan kesejahteraan masyarakat serta bumi Bali,'' sebut salah satu Prakempa Pura Ulun Danu Batur di Songan. (kmb) [Bali Post - Minggu, 26 September 2010].

Pura Pasar Agung, Anugerahkan Kesuburan

Jagat Bali Pura Pasar Agung, Anugerahkan Kesuburan
PUJAWALI di Pura Pasar Agung di Desa Sebudi, Selat, Karangasem bakal berlangsung pada purnama kalima, Jumat (22/10) mendatang. Saat puncak piodalan inilah sangat tepat bagi umat untuk memohon keselamatan jagat.
Pemangku pura setempat Jero Mangku Gede Umbara, Jumat (8/10) kemarin di Sebudi, mengatakan di bagian bawah palebahan Pura Pasar Agung juga terdapat Pura Melanting. Bersamaan dengan pujawali di Pura Pasar Agung, umat juga melakukan persembahyangan di Pura Melanting.
Pura Pasar Agung ini berada di punggung barat Gunung Agung. Kita menghadap ke timur atau berhulu ke puncak atau luhur Gunung Agung. Sementara puncak gunung atau di kepundan/kawahnya berada pada ketinggian 3.400 meter di atas permukaan laut. Di lokasi ini ada Pura Puser Tasik, lokasi untuk mulang pakelem.
Terkait pujawali mendatang, kata Jero Mangku Umbara juga bakal digelar mulang pakelem.Banten atau upakara pakelem di antaranya sesayut telun ayu, suci, bebangkit dengan wewalungan angsa dan bebek. Rombongan mulang pakelem direncanakan berangkat Kamis dini hari sekitar pukul 04.00, Jumat (22/10) mulang pakelem pas di Pura Pasar Agung sulinggih sedang muput pujawali.
Disebutkan, rangkaian pujawali sudah dimulai Kamis (7/10) pada tilem kapat, dengan upacara negtegang. Selanjutnya ngiasin seluruh palinggih dan meru, nuur Ida Bhatara pada Selasa (19/10). Pada Rabu (20/10) ngiring Ida Bhatara masucian ke Toya Sah, sementara mapepada dilakukan sehari menjelang puncak karya. Ida Batara katuran nyejer selama sebelas hari.
Dikatakan Jero Mangku Umbara, sejak upacara negtegan, Gunung Agung tertutup bagi pendaki hingga Ida Batara masineb, Selasa (2/11). Pura Pasar Agung Sebudi disanggra warga 16 desa, Kecamatan Selat, serta pangempon ngarep empat desa pakraman terdekat yakni Sogra, Sebudi, Bukit Galah dan Pemaksan Sebun. Saat pujawali diyakini Ida Batara tedun (turun) melihat jagat raya beserta isinya, dan sekaligus menganugerahkan keselamatan, perlindungan, kesejahteraan, kerahayuan serta kesuburan dan hasil panen pertanian yang melimpah.
Di pura ini terdapat sejumlah palinggih berupa meru, gedong, sanggar agung bale papelik, panggungan, balai gong, dan balai pawedaan.
Terkait Pura Besakih
Sementara itu, Pura Pasar Agung Besakih, kata pengamat agama Drs. Ketut Wiana, M.Ag. ada kaitannya dengan Pura Agung Besakih. Maknanya, nilai-nilai suci yang ada di Pura Besakih wajib dipasarkan atau disosialisasikan atau disebarkan ke semua arah dunia melalui Pura Pasar Agung.
Bali sebagai lambang padma bhuana yaitu bhuana agung sebagai
stana Tuhan yang sesungguhnya. Nilai-nilai suci itu diharapkan diimplementasikan dalam kehidupan, sehingga umat memperoleh kerahayuan dan kesejahteraan.
Seperti diketahui, lanjut Wiana, Pura Besakih sebagai huluning Bali Raya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih juga kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi.
Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali. Pura Besakih merupakan lambang Weda yang dibahasakan dalam bahasa arsitektur sakral dan ritual. Kata Wiana, sakti Dewa Wisnu yakni Batara atau Dewi Sri dipuja umat Hindu di Pura Pasar Agung. (bud/lun)

[Jagat Bali] Pura Luhur Pucak Padang Dawa, tempat Suci nunas Pasupati Tapakan Barong

Jagat Bali
Pura Luhur Pucak Padang Dawa, tempat Suci nunas Pasupati Tapakan Barong

JIKA umat Hindu sempat pedek tangkil ke Pura Luhur Pucak Padang Dawa, di wilayah Desa Bangli Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan pada saat pujawali ageng, ada sesuatu yang unik dapat disaksikan. Kahyangan jagat itu dikenal sebagai tempat nunas pasupati tapakan barong. Maka ketika berlangsung pujawali yang jatuh pada setiap Buda Kliwon Wuku Pahang, pujawali ageng berlangsung 12 Januari 2011 lalu selama tiga hari, puluhan tapakan barong yang menjadi sungsungan umat Hindu di sejumlah kabupaten di Bali, berkumpul di pura tersebut.

Di pura ini terdapat pelawatan Ida Batara berupa figur pewayangan seperti Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Anila, Singanana, Sempati, Sangut dan Delem. Figur-figur pelawatan itu berjumlah sembilan, yang lebih dikenal dengan sebutan Batara Nawa Sanga.

Di Baturiti Tabanan ada tiga kahyangan jagat yang pelawatan Ida Batara-nya sama yaitu Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Pura Luhur atau Kahyangan Jagat Natar Sari Apuan dan Pura Luhur Pucak Kembar, Pacung. Ketiga pura ini tatkala pujawali (karya gede), ngerawuhang puluhan tapakan Ratu Gede (Barong).
Pura Luhur Pucak Padang Dawa terletak di wilayah perbukitan di Desa Bangli, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, sekitar 45 km arah utara Kota Denpasar atau sekitar 25 km arah utara Kota Tabanan. Untuk bisa sampai di Pura ini, umat bisa melewati jalan dari sebelah selatan Pasar Baturiti menuju ke barat melewati Desa Bangli. Bisa juga melewati jalan dari arah Desa Apuan menuju Tampak Karang dan tembus di Banjar Apityeh, dengan kondisi jalan menanjak. Yang lainnya bisa melalui jalan menuju Banjar Tegeh tembus ke Banjar Sandan. Dari Sandan, perjalanan menuju ke
arah timur, kemudian belok ke selatan menuju Pura Luhur Pucak Padang Dawa.
Menurut Penyarikan Pura Luhur Pucak Padang Dawa, I Wayan Lanus yang sehari-harinya lebih dikenal sebutan Pan Mega, Pura Luhur Pucak Padang Dawa merupakan stana Ida Sang Hyang Widi Wasa, dalam prabawa-nya sebagai Siwa Pasupati. Pura Luhur Pucak Padang Dawa, jika dilihat dari makna katanya, Padang Dawa berarti sinar yang panjang. Pujawali ageng di pura ini berlangsung setiap setahun sekali, bertepatan dengan Buda Kliwong Pahang yang juga dikenal dengan Buda Kliwon Pegat Uwakan, 35 hari setelah Hari Raya Galungan. Saat pujawali ageng, sekitar 50 tapakan
Ratu Gede (Barong) yang menjadi sungsungan umat di sejumlah desa pekraman di Bali seperti di Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Jembrana dan Bangli lunga ke Pura Luhur Pucak Padang Dawa.
Unik dan Menarik
Sesuatu yang unik tampak saat pujawali dan pada umanis karya di Pura ini. Apa itu? Pada puncak pujawali, pelawatan Ida Batara Pura Luhur Pucak Padang Dawa dan semua tapakan Barong dan Rangda yang rawuh, kairing masucian ke Beji secara bersama-sama. Prosesi ritual dengan iring-iringan tapakan Ida Batara yang banyak itu menjadi pemandangan yang unik bernuansa religius. Rawuh masucian dari Beji, Ida Batara dihaturkan upakara tebasan ayaban di pemendak agung, tepatnya di jaba Pura Penataran Agung. Malam harinya, katuran pujawali. Keesokan harinya dilangsungkan prosesi pengunyan ke pelinggih-pelinggih yang ada di Pura Luhur Pucak Padang Dawa.

Prosesi ini juga unik dan menarik, karena seluruh tapakan atau pralingga Ida Batara kairing nyaksi pujawali di Pura-pura yang ada di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Di Pura Luhur Pucak Padang Dawa terdapat sejumlah pura yang masih menjadi satu kesatuan. Pura Luhur Pucak Padang Dawa berada di lokasi paling atas, kemudian ke bawah sedikit terdapat Pura Penataran Agung. Kedua pura ini dicapai dengan menaiki jalan berundak. Berjalan sedikit ke arah tenggara, terdapat Pura Dalem Purwa. Di sebelah timur Pura Dalem Purwa terdapat dua buah pura lagi yakni Pura Puseh Agung dan Pura Tegal Suci.

Tapakan barong yang rawuh, selain ditempatkan di Pura Pucak Padang Dawa, juga di pura-pura tersebut. Seusai prosesi pengunyan mulai pukul 09.00 sampai sekitar pukul 11.30 itu, pralingga Ida Batara kembali ditempatkan di pelinggih. Jika ada yang budal itu dilakukan setelah pukul 12.00. Tetapi, biasanya kebanyakan budal setelah penyineban karya yakni hari Minggu. Namun, jika ada Tapakan Barong yang nunas pasupati, itu dilakukan pada Minggu malam, dan seterusnya. Prosesi ritual pasupati itu dilangsungkan tengah malam di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Sudah menjadi tradisi, keesokan harinya setelah menjalani prosesi pemasupatian, Tapakan Barong tersebut kairing ke Pura Bakungan, sekitar 1 km arah selatan Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Di Pura Bakungan itu berstana Ida Batara yang dikenal dengan sebutan Jaksa Sakti.
Pura Luhur Pucak Padang Dawa kaempon sekitar 110 KK krama umat di Banjar Apityeh, Banjar Uma Poh, Banjar Bangli, Banjar Titigalar, Banjar Munduk Andong, Banjar Sandan, dan Banjar Angseri. (lun)
[Balipost - Minggu, 16 Januari 2011].

Mata Air Kemarau di Pura Puser Tasik Bangbang

Jagat Bali Mata Air Kemarau di Pura Puser Tasik Bangbang

PURA Puser Tasik yang terletak di Desa Bangbang Kecamatan Tembuku, Bangli merupakan salah satu pura panyungsungan jagat. Pembangunannya dilakukan pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli pada Icaka 1100 atau tahun 1278 Masehi.

Image

Dalam lontar usana Bali (sejarah pembangunan pura di Bali ditulis I Ketut Soebandi) diceritakan Baginda Raja Masula Masuli yang berstana di Pejeng memanggil seluruh pepatih prapanca, para mantra serta para empu. Di antaranya Empu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Prebekel Bali.
Raja bersabda saat itu agar segera dibangun Parahyangan Tirta Empul sebagai stana Batara Indra dan Parhyangan Mangening stana Batara Suci Nirmala yang bakal mengairi bumi persada. Hal itu membuat suka cita masyarakat Bali. Semua masyarakat menyumbang padas dan bahan bangunan lainnya.
Pembangunan sejumlah pura yang direncanakan Raja Masula Masuli bersama Mpu Rajakreta akhirnya tuntas. Di antaranya Pura Tirtha Mangening, Ukir Gumang, Jampana Manik atau Gulingan, Alas Arum atau Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik dan Manik Ngereng. Raja mengeluarkan kutukan bagi siapa yang hendak menghentikan pembangunan pura itu. Dalam perkembangannya, berdirilah Desa Bangbang.
Pada Pura Puser Tasik dibangun lagi pura dalam satu palebahan. Di antaranya Pura Luhuring Akasa, Puser Tasik, Puseh, Pura Maksan, Pura Sakenan sehingga di areal Pura Puser Tasik ini berdiri sebuah pelinggih (bangunan suci) berpintu menghadap tiga arah.
Di pura ini ada gedong panyimpenan Puser Tasik dan Luhuring Akasa. Sebuah palinggih berbentuk meru tumpang lima sebagai stana Batara Gede Puseh. Juga ada sebuah palinggih berbentuk sanggaran. Sebuah palinggih berbentuk gedong betel, pasimpangan Batara Gunung Agung, pasimpangan Batara Batur, pasimpangan Batara Gunung Lebah, bale agung dan sebuah bangunan suci disebut dasar (dulu ada sumber mata air), dan lima buah arca Rsi Markendya.
Bendesa Adat Bangbang, Nyoman Kartika, menjelaskan pengempon utama pura ini dulunya adalah Raja Bangli. Namun dalam perkembangannya akhirnya pengempon utama pura ini adalah masyarakat Bangbang. Pujawali di pura ini jatuh pada Buda Kliwon Wuku Ugu. Upacara Ngusaba Agung dilaksanakan setiap 10 tahun sekali pada purnama katiga.
Uniknya, selain banyak arca pralingga, terdapat sebuah mata air yang hanya keluar airnya saat musim kemarau atau menjelang hari pujawali di sebelah timur pura. Kini sumber mata air langka itu telah dibuatkan pelinggih, tidak sembarang orang boleh keluar masuk ke tempat itu.
Sumber mata air itu diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Baik penyakit medis aaupun nonmedis. Makanya banyak pemedek yang memohon tirta ini. Apalagi menjelang pujawali saat ini. (puj)
[Jagat Bali - Balipost Minggu, 20 Pebruari 2011]

RITUAL LABUHAN MERAPI

LABUHAN MERAPI
Tiga butir “endog jagat” (telor dunia) yang dihadiahkan Ratu Kidul sebagai tanda cinta kepada Panembahan Senopati diberikan kepada juru taman di Keraton Kota Gede. Ayah dan paman Panembahan Senopati memang curiga dengan pemberian Ratu Kidul tersebut. Betul saja apa yang terjadi, setelah memakan telor tersebut sang juru taman semakin besar badannya, dan wajahnyapun menjadi aneh seperti raksasa. Wataknya pun berubah tidak seperti manusia lagi. Bahkan ia menyerang Panembahan Senopati. Perkelahian hebat terjadi. Namun deinikian karena kesaktiannya Panembahan Senopati akhirnya dapat mengalahkan juru taman yang telah berubah wujud tersebut.
Setelah dikalahkan raksasa itu diberi nama Sapujagat dan diminta untuk meninggalkan Kraton Mataram Lalu menetap di Gunung Merapi agar tidak mengganggu rakyat mataram. Panembahan Senopati berjanji akan mengirim Dhaharan dan pakaian setiap tahun, sambil meminta ki sapu jagat menjaga Gunung Merapi bila sedang “punya gawe” alias murka agar tidak mengenai rakyat Mataram.
ImageJanji Panembahan Senopati itulah yang kemudian ditradisikan sebagai upacara labuhan Merapi, sebagaimana dipaparkan oleh Mas Ngabehi Suraksohargo atau yang dikenal dengan Mbah Marijan, juru kunci gunung Merapi. Kisah itu pula yang diceritrakan dalam sendratari yang dipertunjukkan usai labuhan di Paseban Dalem, di halaman rumah Mbah Marijan.
Han itu Rabu (15/8/2007) masyarakat desa Kinahrejo tengah sibuk mempersiapkan upacara labuhan dalem Sri Sultan Hamengku Bhuwono X. Desa Kinahrejo adalah desa yang terletak paling Utara atau paling atas di lereng gunung Merapi. Labuhan dalem mi dilakukan untuk memperingati Jumenengan Dalem. Selain di Parangkusumo dan gunung Merapi, labuhan juga dilakukan di gunung Lawt. Meski upacara labuhan Merapi dilakukan kira-kira pukul 09.00 WIB, tetapi persiapannya telah dilakukan sehari sebelumnya. Halaman rumah Mbah Marijan, mulai Selasa pagi (14/8) sudah terlihat ramai. Ada panggung yang berisi seperangkat gamelan di halaman rumah. Pendopo rumahnya dibuka lebar-lebar dan digelari tikar.
Ratusan orang mulai berdatangan ke rumah Mbah Marijan. Memasuki pukul 03.00 Wib Rabu dini han, sebagaian abdi dalem yang betugas mempersiapkan upacara labuhan mulai naik ke paseban dalem, tempat yang akan dipakai untuk menggelar upacara labuhan Merapi. Jarak dan rumah Mbah Marijan antara 4-5 km naik ke arah puncak Merapi. Mbah Marijan dikenal berjalan begitu cepat ke puncak, ia berjalan begitu ringan. Tepat pukul 09.00 Wib upacara labuhan dilaksanakan. Mbah Marijan lebih banyak duduk, sedangkan para petugas mulai mengatur jalannya upacara dan doa hingga membagi-bagikan sesaji.
Demikianlah upacara labuhan Merapi yang dilaksanakan di Paseban Dalem gunung Merapi. Sebuah tradisi yang dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta, dan dilaksanakan oleh Mbah Marijan sang juru kunci Merapi serta para abdi dalem yang lain. (Keris vol.07-08 2007).
[WHD No. 526 Oktober 2010]

Image 

Labuhan Merapi Kembali Digelar

Kamis, 8 Juli 2010

Sleman  (ANTARA News) - Labuhan Merapi yang merupakan upacara adat yang diadakan setiap 30 Rajab (kalender Jawa) akan kembali digelar Senin dan Selasa (12- 13 Juli).
"Rangkaian upacara adat ini akan dilangsungkan di rumah juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo atau Mbah Marijan di dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan, Cangkringan, Kabupaten Sleman," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Sleman, Untoro Budiharjo, Kamis.
Menurut dia, upacara Adat Labuhan Gunung Merapi merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka peringatan jumenengan Ndalem (naik tahta) Sri Sultan Hamengkubuwono X yang diselenggarakan setiap 30 bulan Rejeb penanggalan Jawa.
"Berdasarkan legenda pelaksanaan labuhan Merapi berkaitan erat dengan latar belakang sejarah Kyai Sapu Jagad, Empu Rama, Empu Ramadi, Krincing Wesi, Branjang Kawat, Sapu Angin, Mbah Lembang Sari, Mbah Nyai Gadhung Wikarti dan Kyai Megantoro yang semuanya penguasa di Gunung Merapi," katanya.
Prosesi Labuhan Gunung Merapi diawali pada Senin (12/7) pukul 09.00 WIB berupa "srah-srahan ubarampe" secara simbolis dari Kraton Ngayogyakarta oleh utusan Ngarsa Dalem Sri Sultan HB X kepada Camat Cangkringan kemudian dilanjutkan dengan penyerahan kepada juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo.
Pukul 15.00 WIB dilaksanakan Kirab Budaya oleh prajurit Gandungarum dari Kaliadem, Dusun Ngrangkah menuju rumah juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo dan pada malam harinya dilaksanakan kenduri wilujengan di rumah juru kunci dilanjutkan dengan macapatan oleh paguyuban Sekar Cangkring Manunggal.
"Kemudian Selasa (13/7) pukul 06.00 WIB dilakukan acara resmi Labuhan Merapi yang diawali kirab prajurit yang membawa `uba rampe` diiringi keluarga juru kunci, abdi dalem dan utusan Kraton dari rumah juru kunci menuju ke Kendit 2 dilanjutkan dengan doa-doa," katanya.
Ia mengatakan, upacara adat Labuhan Merapi merupakan kegiatan tahunan yang cukup besar dan telah melegenda serta telah menjadi "calender of event" yang tetap.
"Diperkirakan akan mendatangkan ribuan wisatawan domestik maupun manca negara yang akan melihat secara langsung ritual upacara adat yang masih kental kesakralannya di kalangan masyarakat umum," katanya.

(U.V001/Z003/P003)
COPYRIGHT © 2010

BALI DAN BANTEN: Mendalami Ajaran Yoga Dalam Upakara

BALI DAN BANTEN:
Mendalami Ajaran Yoga Dalam Upakara
Sarana upacara adalah upakara. Di Bali upakara dipopulerkan dengan istilah banten, sedangkan di India, upakara disebut wedya. Istilah wedya sebenarnya juga terdapat di dalam pustaka agama Hindu di Bali yang juga berarti banten. Upakara atau banten merupakan perwujudan dan ajaran bhakti marga dan karma marga.
Kata upakara terdiri atas dua kata yaitu upa yang berarti sekeliling atau sesuatu yang berhubungan dengan, dan kara artinya tangan. Jadi upakara berarti segala sesuatu yang dibuat oleh tangan, dengan lain perkataan suatu sarana persembahan yang berasal dan jerih payah bekerja.
Banten juga disebut wali. Maka upacara Dewa yadnya disebut juga pujawali. Kata wali mengandung pengertian: wali berarti wakil dan wali berarti kembali. Wali yang berarti wakil mengandung makna simbolis filosofis bahwa banten itu merupakan wakil daripada isi alam semesta yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi. Wali yang berarti kembali mengandung makna bahwa segala yang ada di alam semesta ini yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dipersembahkan kembali oleh manusia kepadaNya sebgai pernyataan rasa terimakasih. Banten juga berarti bali. Bali dalam bahasa Sansekerta berarti persembahan kepada bhuta, sehingga bhuta yadnya disebut sebagai bali harana atau bali karmana.
Banten memiliki banyak jenis dan bentuk serta bermacam-macam bahan. Secara sepintas banten kelihatannya unik dan rumit. Namun apabila diselidiki secara mendalam aka dapat dipahami bahwa banten mengandung arti simbolik dan filosofis yang tinggi serta terpadu dengan seni rupadanseniriasyangmengagumkan.
Faktor seni dalam banten mempunyai arti penting karena dapat menuntun fikiran yang penuh rasa bahagia dalam menuju Hyang Widhi. Oleh karena itu faktor seni dalam keagamaan adalah positif karena berperan sebagai penunjang pelaksnaan upacara agania untuk memekarkan rasa serta meningkatkan kemantapan perasaan.
Meskipun bahan banten terdiri dan bermacam-macam, namun prinsipnya bahan banten itu terdiri dari unsur isi alam, yaitu:
1. Mataya, adalah bahan banten yang berasal dari sesuatu yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan seperti daun, bunga, buah dan  sebagainya.
2. Maharya, adalah bahan banten yang berasal dari sesuatu yang lahir, diwakili oleh binatang-binatang tertentu seperti kerbau, kambing, sapi dan sebagainya.
3. Mantiga, adalah bahan banten yang berasal dari yang lahir dari telor, termasuk telor itu sendiri seperti ayam, itik, angsa, telor ayam, telor itik, telor angsa dan sebagainya.
4. Logam atau datu seperti perak, tembaga, besi, mas, timah (panca datu).
5. Air atau cairan. Ada lima macam cairan atau air yang dipakai banten yaitu:
    a. Air yang berasal dari jasad atau sarira, diwakili dengan empehan atau susu.
    b. Air yang berasal dari buah-buahan, diwakili dengan berem.
    c. Air yang berasal dari uap atau kukus diwakili dengan arak.
    d. Air yang berasal dari sari bunga diwakili dengan madu
    e. Air yang berasal dari tanah atau bumi diwakili oleh air hening. Kelima zat cair ini disebut panca amerta.
6. Api dalam wujud dupa dan dipa
7. Angin dalam wujud asap yang harum
Inilah isi dalam ciptaan Ida Sang Hyang Widhi yang dipersembahkan kembali kepada Beliau.
Ajaran agama Hindu meliputi sesuatu yang lahiriah dan batiniah serta dapat dilaksanakan secara individual dan kolektif. Sifat ajarannya adalah luwes dan elastis. Keluwesannya dinyatakan dengan istilah desa, kala, patra yang artinya agama Hindu dapat dilaksanakan menurut tempat waktu dan keadaan. Sifat elastis memberikan peluang pelaksanaan agama Hindu menyesuaikan diri dengan peningkatan teknologi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan jaman serta situasi ekonomi dan zaman ke zaman. Adanya sifat luwes dan elastis itu karena Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu bersifat mengatasi ruang dan waktu.
Di dalam kaitannya dengan upakara dan upacara agama Hindu, sifat luwes dan elastis itu selain berlandaskan desa, kala dan patra, namun juga dapat dilaksanakan menurut tingkatan kanista, madya dan utama. Kanista berarti sesuatu yang menjadi prinsip di dalam upacara dan upakara itu yang harus ada. Madya adalah pengembangan dari prinsip tersebut sehingga menjadi lebih besar dari kanista. Utama adalah pengembangan dan penambahan dari madya sehingga tampak menjadi lebih besar dari tingkatan madya. Apabila yang prinsip dilaksanakan, maka upacara dan upakara itu sudah benar menurut ajaran agama Hindu. Apabila melaksanakan yang madya atau utama tetapi tidak memperhatikan yang prinsip itu, maka upacara dan upakara itu tidak mengenai sasaran yang dituju.
Ada tiga hal yang seimbang di dalam melakukan upacara atau yadnya yaitu: Upacara, upakara dan pujamantra yang digunakan oleh Pedanda dalam memimpin upacara. Apabila ketiganya tidak seimbang, maka akan terjadilah ketimpangan dalam pelaksanaan upacara agama. Selain itu harus diciptakan kemanunggalan trimanggalaning yadnya yaitu : orang yang beryadnya, wiku tapini atau tukang banten dan Pedanda yang muput upacara tersebut.
Seni budaya merupakan penunjang sarana upacara. Berbagai kesenian berperan dalam menurijang upacara seperti : seni rias yang dipancarkan oleh bentuk banten, seni suara berupa kidung kakawin atau lagu-lagu pujaan, seni tari berupa seni sakral dan seni wali, seni tabuh berupa gamelan, serta aturan busana upacara agama. Dengan adanyan seni budaya yang menunjang upakara dan upacara maka upacara tersebut menjadi begitu meriah dan memberikan rasa bahagia. Seni budaya tersebut sesungguhnya bukan seni melulu, melainkan suatu seni yang mengandung makna simbolis tertentu dan membungkus ajaran tattwa agama.

Hadirnya banten dalam tradisi Hindu di Bali sesungguhnya melewati perjalanan sejarah yang panjang. Di dalam kitab Yajur Weda dapat diketahui adanya persembahan yang dihaturkan kepada Dewa sebagai manifestasi dan Brahman berupa gandam, ksatam, puspam, dupam, dipam, toyam, gretam dan soma. Sesuai dengan namanya sendiri bahwa Yajur Weda artinya pengetahuan yang digunakan untuk persembahan. Materi persembahan dalam Yajur Weda tersebut kita lihat sekarang dalam bentuk tetandingan banten. Memang dalam kitab Yajur Weda belum disebutkan binatang sebagai persembahan.
Selanjutnya apabila kita mendalami konsepsi tantrayana yang juga berpengruh di Bali kita mengetahui adanya konsep panca tattwa terdiri atas matsya, mamsa, madhya, maithuna dan mudra. Matsya yaitu ikan, mamsa adalah daging, madhya adalah minuman, maithuna adalah penyatuan pikiran atau samyoga, dan mudra adalah sikap tangan yang mengandung kekuatan gaib. Ajaran tantra adalah ajaran yang sangat kompleks serta dalam. Pada intinya tantrayana mengajarkan suatu keharmonisan antara sekala dengan niskala atau wahya dan dhyatmika.

Di samping ajaran Weda dan Tantrayana, alam pikiran lokal juga melandasi adanya banten yang dikemas dalam simbol-simbol pengharapan manusia terhadap sesuatu. Hal ini sangat tampak dalam upacara pitra yadnya, manusa yadnya dan bhuta yadnya. Alam pikiran lokal itu ditunjang oleh berbagai kreasi imat Hindu setempat sebagai perwujudan rasa indah dalam memuja Hyang Widhi dan para arwah leluhur. Konsepsi Weda, tantrayana yang berasal dan India serta alam pikiran lokal sebagai budava ash Indonesia, ketiganya terpadu dan luluh secara harmonis menjadi satu yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk banten sekarang. Itulah sebabnya banten di Bali memancarkan nilai keindahan penuh makna simbolis dan sangat unik. Sistem seperti itu meresapi pula kehidupan sosial budaya dan agama Hindu di Bali sehingga menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat umat Hindu yang mencakup tata kemasyarakatan dan tata keagamaan.
Ketika banten disusun sedemikian rupa menjadilah ia sebuah candi banten, sekaligus sebagai sebuah persembahan. Candi banten adalah tempat mensthanakan Tuhan Yang Maha Suci, sehingga banten benar-benar dijaga kesuciannya. Bahan-bahan terpilih tidak saja bersih tapi juga suci atau sukia. Demikian juga halnya dengan proses pembuatannya. Umat Hindu khususnya kalangan wanita mempraktekkan ajaran yoga dengan pemusatan pikiran dalam membuat banten. Jadi banten dibuat tidak saja dengan proses kreatif tetapi juga dengan proses yoga dengan mengutamakan nilai-nilai kesucian. Ada pernusatan pikiran disini, dengan menggerakkan jan- jemani bagaikan sedang berjapa. Seperti itulah para tukang banten dan para wiku tapini melakukan aktifitas penuh makna kesucian, membuat banten dalam posisi bajra asana atau padma asana memusatkan pikiran kepada Sang Pencipta.
Man kita berusaha mewujudkan bhakti yoga marga dan karma yoga marga sekaligus dengan jnana yoga marga dan raja yoga marga dalarn proses membuat banten, dalam suasana yang hening, heneng dan suci. Semoga dengan demikian Ida Hyang Widhi rang Maha Suci menganugrahi kita kesucian pikiran dan kerahayuan dalam hidup ini (Diah). •
[WHD No 534 Juni 2011]
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

INFO PENTING

Kami sampaikan kepada semua pengunjung TNBA Blog, bahwa Kami disini bukanlah Pencipta Artikel ataupun Uploder, kami hanyalah Finder Artikel dan Juga Link - link terkait yang kami Posting. Admin adalah BLOGER Baru yang berasal dari PULAU DEWATA dengan Tujuan mulia untuk membantu Masyarakat untuk menemukan Artikel-artikel yang diinginkan dengan Mudah tanpa mengambil keuntungan dari semua Postingannya.

Salah satu Sumber kami :
1. www.parisada.org
2. singaraja.wordpress.com
3. piswayang.blogspot.com
4. www.stitidharma.org

Trima kasih atas perhatiannya

Admin

Bisnis Online

BALI

=====BALI=====

Bali adalah Pulau yang sering disebut dengan Pulau Seribu Pura, ini semua karena memang di Pulau ini memiliki banyak sekali Bangunan Pura Yang Megah di Setiap Lokasi di Setiap Desanya. Hal ini tidak terlepas dari Mayoritas penduduknya menganut Agama Hindu,,Hhhhmmmmmm kalau saya Bahas Bali disini akan sangat panjang, Kalau Agan2 Mau tau Bali seperti apa,,.??? Baca Postingan dari "TIANG NAK BALI AGA", temukan Informasi tentang Bali disini.

Suksma

Kategori

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Kunjungan

Followers

 

Visitors

free counters

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger