DALAM pelajaran sejarah generasi Orde Baru pasca-1966, baik PMP
(Pendidikan Moral Pancasila) ataupun PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa), sama sekali tidak dijelaskan tentang pembantaian massal
setelah peristiwa G30S. Yang ada adalah kudeta yang dilakukan PKI
(Partai Komunis Indonesia) terhadap pemerintahan yang sah pada dini hari
30 September 1965. Ini dibuktikan dengan penemuan jenazah tujuh
jenderal di kawasan Lubang Buaya yang disiksa dan dibunuh oleh
organisasi underbow PKI, yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia).
Ritual lain yang tak terlupakan adalah upacara bendera memperingati
Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober), dilanjutkan dengan mengunjungi
monumen Tujuh Pahlawan Revolusi untuk mengutuk kekejaman PKI dan
mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur, kemudian rombongan sekolah
menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” di gedung-gedung bioskop
sehingga wacana “Hantu Komunis” terus tercipta yang dijadikan senjata
untuk menghabisi gerakan-gerakan kritis dan istilah “Ganyang PKI”
menjadi begitu dikenal.
Siapa yang tahu bahwa sesungguhnya ada cerita lain di balik peristiwa
itu, yang hanya diketahui oleh para survivor dan saksi-saksi sejarah
pembantaian massal di seluruh bumi pertiwi Indonesia, khususnya di Bali
yang memilih senyap meski hati mereka berteriak memohon ruang bebas
untuk bercerita? Buku ini menjadi satu sarana mereka untuk bertutur dan
akhirnya terkuaklah bahwa di rentang tahun 1965-1969 Pulau Bali telah
menjadi sebuah “Ladang Hitam”.
Saat meletusnya G30S, Bali menjadi salah satu daerah dengan
“penyembelihan” terganas terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan
dan anggota PKI, penuh dengan jejak darah pembantaian dan kuburan massal
yang ada di hampir semua jengkal desa-desa di Bali. Soe Hok Gie dalam
sebuah essainya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran tentang Bali
saat hari-hari mencekam 1965-1966 di Bali sbb.;
“Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca
ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakan apakah dia mempunyai teman
yang menjadi korban pertumbuhan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan,
karena memang demikianlah keadaan di Bali. Tidak seorang pun yang
tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang
dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang
berkeliaran di mana-mana pada waktu itu.”
Atau simaklah sebuah pengakuan dan penuturan seperti ini;
“Saya berasal dari Bangli. Konon katanya pada waktu itu banyak orang
yang diculik dan dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh. Saat itu kakek
saya adalah seorang Jero Mekel dan juga polisi pamong praja yang
mempunyai banyak pengayah yang harus menjaga kestabilan, keamanan dan
ketenangan di wilayahnya. Kakek sering bercerita bahwa pada waktu itu
situasi sangat gawat dan genting sekali. Banyak kepala keluarga yang
ditangkap dan diculik kemudian dibunuh, bahkan ada yang langsung dibunuh
di depan rumahnya sendiri dengan digorok, diklewang atau ditembus
dengan timah panas, disaksikan oleh anak dan istrinya.
Orang yang bertugas menculik dan membunuh ketika itu dikenal dengan
istilah tameng. Istilah ini begitu terkenal di desa saya dan sampai
sekarang masih melekat. Para tameng yang masih hidup sekarang kebanyakan
hidupnya tidak karuan dan terlunta-lunta, bahkan ada yang sangat
menderita. Mungkin itu karena karma yang harus mereka tanggung akibat
membunuh orang-orang yang tidak berdosa.”
Sebuah Referensi
Buku “Ladang Hitam di Pulau Dewa” karya I Ngurah Suryawan ini,
setidaknya bisa menjadi sebuah referensi bagi masyarakat yang ingin
mengetahui sejarah G30S PKI, apa yang terjadi di balik Gerakan Satu
Oktober, di mana saja orang-orang dibantai pada saat itu dan siapa saja
yang terlibat di dalamnya. Referensi ini sangatlah penting, terutama
bagi para pemuda zaman sekarang, karena minim sekali sejarah yang
menceritakan secara rinci kejadian yang sebenarnya.
Dalam buku ini juga dibicarakan mengenai politik ingatan. Dikatakan
demikian karena akan diuraikan kesaksian seorang mantan Bupati Jembrana
pada tahun-tahun genting dan hilang dalam sejarah politik Bali. Ia
adalah IB Gde Dhoster yang yang akrab dipanggil Pak Dhoster. Ia mantan
Bupati Jembrana Tahun 1960-1967. Segudang kesaksian dan ingatan Pak
Dhoster ini diharapkan akan memberikan perspektif baru dalam pengetahuan
sejarah di Bali.
Pembantaian massal pasca G30S PKI 1965, merupakan sejarah buruk yang
terjadi di negeri ini. Ratusan ribu jiwa manusia yang di-PKI-kan
melayang tanpa memperoleh keadilan. Tragedi ini sungguh merupakan kisah
kelam, bukan hanya bagi para korban tetapi juga bagi bangsa ini. Buku
ini merekam beragam kisah pedih yang terjadi di Bali, salah satu wilayah
di mana pembantaian itu terjadi.
Dengan perspektif studi antropologi kekerasan, buku ini membongkar
mitos tentang kekerasan yang terjadi di Bali pada tahun 1965 sebagai
proses alamiah, argumentasi keseimbangan alam, dan mitologi letusan
Gunung Agung yang meminta korban. Mitos-mitos itu tak lebih sebagai
sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh para penguasa saat itu.
Jadi, buku sangat penting untuk generasi muda kini. Dapatkan buku ini
hanya di Gramedia Pusat Kota Denpasar, Matahari Duta Plaza Lt.
Basement.
Posted by PuJa on September 29, 2010
Judul : Ladang Hitam di Pulau Dewa
Pembantaian Massal di Bali 1965
Pengarang : I Ngurah Suryawan
Penerbit : Galang Press
Tebal : 264 halaman
Tahun : Cetakan I, 2007
Peresensi: Made Suardana
http://www.balipost.com/
Pembantaian Massal di Bali 1965
Pengarang : I Ngurah Suryawan
Penerbit : Galang Press
Tebal : 264 halaman
Tahun : Cetakan I, 2007
Peresensi: Made Suardana
http://www.balipost.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.