Om Swastyastu,
Kata Ngayah
sangat populer dikalangan Umat Hindu terutama yang berasal dari Bali,
setiap kali ada suatu aktivitas atau pekerjaan di sebuah pura atau
fasilitas umum milik masyarakat, biasanya pememimpin masyarakat di sana
akan mengajak warganya untuk “Ngayah” menyelesaikan pekerjaan secara gotong royong dengan ikhlas tanpa pamrih.
Untuk
lebih memahami apa dan bagaimana Ngayah itu, berikut kami tampilkan
kajian filosofis Ngayah oleh Pinandita Danu, selamat membaca:
Tanpa karma, kemajuan sangat sulit jadinya. Para jnani juga harus melakukan karma, tetapi laksana seekor angsa yang keluar dari dalam air mereka dapat mendesiskan bulu-bulu sayapnya dan menjadi kering seperti ketika mereka masuk ke air. Karma tidak mempengaruhi sama sekali. Mereka melakukannya
tanpa ego, tanpa keinginan. Itulah sifat mereka yang mengharap kebaikan
dunia dan menggunakan dalam bekerja dalam memajukan kesejahteraan
dunia. (Bhagavan Shri Sathya Narayana).
“Ngayah”
bukanlah kata aneh bagi umat Hindu umumnya, atau masyarakat (Hindu)
Bali khususnya. Dalam berbagai kegiatan keagamaan (Hindu) ngayah itu
bagai “Oksigen” yaitu suatu kebutuhan hakiki yang menafasi darah
religiusitas kita. Tapi pada saat yang sama ngayah sekaligus bagai “air
dan api kosmis” yang mencuci jernih keruh-keruh karma kita atau
membakarbebaskan benih-benih kemalasan (tamasa) yang mencengkram Dharma
kita. Sejauh mana manusia Hindu memahami, menghayati dan merefleksikan
ngayah dalam kehidupan keagamaannya? Secara
intra-personal (dalam hubungan manusia dengan Tuhannya) adalah terpulang
kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara
inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang
lainnya) atau sosio-kultural. Berkaitan dengan kedua sudut pandang
(point of view) itulah maka soal filosofi ngayah sangat relevan kita
angkat sebagai “Pratipadhya” (topik) untuk diperbincangkan dalam tulisan
ini, terutama dalam konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural
Hinduisme. Mengapa dan untuk apa kita ngayah? Apa sih sesungguhnya arti
dan makna dari ngayah itu dalam hidup keagamaan kita? Dan seratus
pertanyaan bisa bermunculan dari topik tersebut. Tapi dalam “bekal”
pemahaman yang sangat kurang, maka pengupasan yang dilakukan masih terbatas seputar dua masalah dasar di atas.
ARTI NGAYAH
Secara harfiah ngayah berarti: melakukan pekerjaan
tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990) Istilah ini dari segi
etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feudal dari zaman
raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari budaya PURUSAISME atau
Patrilineal/Patrirhat, terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya.
Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu
pada :Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan
konskuensinya.
Kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan (yang mendiami
tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam kaitannya
dengan kewajiban-kewajibannya ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
v Kewajiban religius-teritorial, terutama Pura Kahyangan Tiga (pengayah pura)
v Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat (pengayah banjar adat)
v Kewajiban
berupa dedikasi, loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang memerintah
pada masa itu (pengayah puri). Karena sebagian tanah-tanah ayahan itu
adalah pemberian dari raja yang diperoleh (sebagai rampasan perang) atas
penaklukan kerajaan/ daerah lain.
Latar
belakang sosiologis dan historis tersebut telah menunjukan bahwa semula
budaya ngayah itu berakar dari kata ayah , ayahan , pengayah ,
ngayahang ( yang saling kait mengkait dalam satu kesatuan konskuensi
logis – eksistensialistis). Eksitensi tanah ayahan desa telah membawa
konsekuensi logis bagai pengayah untuk melakukan kewajiban
sosio-religiuskultural, yakni ngayahang. Konsekuensi eksistensislistis
ini juga berimplikasi terhadap kenyataan lingual budaya ngayah itu
sendiri. Sehingga kita mengenal prinsip perbedaan makna yang diturunkan
dari realitas tersebuat, yaitu: Ngayah ke Pura, ngayah ke banjar dan
ngayah ke puri atau Ngayah ke gerya. Dalam pada itu masyarakat Bali
secara principal (sosiosemantik) membedakan ngayah dengan ngoopin
(ngaopin), meskipun ngoopin juga memiliki makna melakukan kerja tanpa
upah tapi secara hakiki tidak sama. Sehingga tidak ada
orang Hindu (Bali) yang berkata banjar/puri/gerya. Tradisi ngayah
diletakkan dalam format hubungan “vertical ke Tuhan”. Atau
“vertical-organisatoris adat” serta “vertical-struktur sosial/kasta”.
Sedang tradisi ngoopin jelas diletakkan dalam format hubungan horizontal
(lebih proletar).
REFLEKSI SOSIORELIGIUS NGAYAH
Secara
fenomenalogis, ngayah merupakan sebuah gejala sosio-religio-kultural
masyarakat Hindu. Dalam kaitan ini ngayah menjadi gejala
religio-kultural yang dengan jelas dapat diamati dalam masyarakat
bersangkutan. Dan daripadanya, kita dapat suatu formulasi berkenaan
dengan masalah pola pikir, ide, gagasan, sikap dan point of view mereka.
dan lebih penting, fenomena ngayah sebagai gejala sosiobudaya yang
tampak pada saat diteliti lebih jauh, dan ditarik sebagai terminus
anteequem dalam melihat kecendurang-kecenderungan hidup sosio-kultural
masyarakat Hindu dimasa yang akan datang. Betapa tidak, sebab hidup
masyarakat Hindu ialah juga bagian dari bagian yang tak terpisahkan dari
hidup masyarakat dan budaya dunia, terlebih kala dimana kita tengah
menyongsong millinium ke tiga (babak ketiga putaran Kaliyuga, terutama
pasca tahun masehi) ini.
Apakah
aktivitas ngayah masih relevan? Pertanyaan ini bernada minor,
pesimistis dan eskapis! Untuk itu “energinya” harus direinforcement,
dengan membalik, “bagaimana merefleksikan ngayah agar tetap relevan”?
ini adalah kegelisahan yang positif, bertenaga, serta punya darah: bukan
pucat bangkai! Maka alternative problem solvingnya pun menjadi lebih
dinamik, disbanding yang semula, yang berkesan menghidap “Hinduwi
impotent”! upaya yang dapat ditempuh untuk merefleksikan “ethos ngayah”
atau sikap “devotionalty” sangat jamak (there are many kinds of
relegio-cultural activities). Dan dalam kontek ini, segenap lapisan
masyarakat Hindu memiliki peluang yang seluas-luasnya dalam melaksanakan
Dharma Agamanya di dalam hidup mereka.
Refleksi
ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam
berbagai bidang kehidupan. Dengan catatan, bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia Hindu itu dilandasi “Jiwa Dasyam”
yang tulus dan ikhlas kepada Ista Dewata (Hyang Widhi dalam segala
perwujudannya sebagai SAGUNA BRAHMAN, atau pun dalam
ketidakberwujudannya sebagai NIRGUNA BRAHMAN yang dipuja/puji sebagai
satu-satunya perlindungan).
Bentuk
pemahaman, penghayatan dan implementasi ngayah dalam arti luas ini,
antara lain dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita
ke-Tuhanan, menulis buku-buku agama, Dharma wacana, menyekolahkan anak
yatim/piatu, mengajarkan tentang agama dan sebagainya.
Bila berbagai kegiatan hidup itu dilakukan sebagai cermin dari sifat “devotional
service, freedom of compensation, atau kerja sebagai suatu ibadah
(persembahan) relegius kepada Hyang Widhi Wasa”, maka aktivitas itu
tercakup dalam pengertian ngayah. Hingga kini, ngayah memang lebih
banyak dipahami, dimaknai dalam lingkup yang sempit dan terbatas.
Seperti ngayah membuat upakara pada waktu piodalan di pura,
mempersembahkan Tari Wali, Bebali, atau memercikkan tirtha kepada umat,
dan sebagainya. Akibat banyak warga yang tidak bisa terlibat dalam
kegiatan ngayah berkenaan dengan piodalan itu, merasa dirinya “asing”
atau “tidak percaya diri”, atau “bahkan tidak enak tidur”.
Jika mereka memahami dengan benar secara konseptual tentang makna dan
hakekat dari ngayah, maka hal itu tidak perlu terjadi. Tapi inilah
suatu “gejala” dari jiwa/atma yang telah terkontaminasi “maya” (unsure
prakerti), ia lupa akan entitasnya yang tidak terbatas,
akan tetapi karena belenggu maya ia menjadi bingung, linglung, berpikir
sempit, terbatas dan terkungkung. Ia terjebak kepada “False
conciousness” akan eksitensi “adanya yang tiada”. Dalam kekawin Arjuna
Wiwaha, Mpu Kanwa mengibaratkan, “seperti angin di dalam bumbung bambu”
HAKIKAT (FILOSOFI) NGAYAH
Aktivitas ngayah yang masih melekat
dalam sikap bathin dan budaya manusia Hindu pada hakekatnya berpegang
pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam
kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat) pemahaman
demikian tertuang salam motto “ora et labora” (bekerjalah dan
berdoalah). Paham kerja dalam folosofis ini ialah representasi kerja
dari sesosok “para bhakta” sebagai “Dasyam” kepada Ista Dewata.
Paham kerja ini dengan jelas dittahtakan dalam kitab Bhagawadgita ll.47, seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut:
“Karmany evadhikaras te ma phalesu kadacana ma karma phala hetur bhur ma te sanggostava akarmani”
“Hanya
berbuat untuk kewajiban bukan hasil perbuatan itu (kau pikirkan),
jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu bekerja, jangan pula tidak
bekerja (sebab tak berharap pahala)”
Dalam
paham kerja ini, hanya semata-mata untuk pahala material (pamrih), atau
sama sekali tidak bekerja, (nirkarma) karena semata-mata sesempit “angin di kurungan ruas bambu” sindiran Mpu Kanwa.
Pemaham
atas hakekat kerja tersebut secara praktis juga perlu didukung oleh
suatu sikap bathin yang terumus dalam kalimat “rame ing gawe sepi ing
pamrih”. Ungkapan ini nampak sederhana tapi mengandung makna yang sangat
dalam, terutama berkenaan dengan paham kerja di atas. Secara teoritis,
paham kerja ngayah ini dilihat dari pemikir K. Bertnes (Etika,1997:211-212) akan mengandung dua konskuensi etik yaitu Etika keutamaan dan etika kewajiban.
Etika
keutamaan yang berabad-abad telah dikemukan oleh Sokrates, Plato dan
Aristoteles pada dasarnya berorientasi pada “being manusia”, dengan
rumusan “what kind of person should I be” (saya harus menjadi orang yang
bagaimana). Sedang etika kewajiban yang dikembangkan oleh David Hume,
dan Kant bagi kehidupan zaman modern, pada prinsipnya berorientasi pada
“doing manusia” dengan rumusan “what should I do” (saya harus
mengerjakan apa?)
Rumusan
ini bagi sosok manusia Hindu lebih jauh diperdalam dalam pemahaman
“kharisma” yang di sebut “Taksu”. Konsep ini spiritual taksu menjadi
dasar baik dalam representasi paham kerja yang mengacu pada being maupun doing manusia. konsep ini tidak semata-mata memberi pergulatan teknik, tapi juga religius yang pengayan dan pendalaman atas nuansa spiritual dan theologisnya tentu berbaris pada aktivitas NGAYAH.
Dalam
tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah upaya yang
automatically memiliki hakikat “kebebasan eksistensial ini, seperti di
sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari
langit yang dinyatakan : “tan hanang wastu tan palalayan” (tiada anugrah tanpa suatu usaha sungguh-sungguh untuk menggapai-Nya.
“Mari ngaturang ayah sebagai persembahan suci kepada Hyang Widhi Wasa”.
Serve to the all mind kind is serve to the God
Serve is Love
Serve is God
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.