Yudistira dan DrupadiLuh Made Sutarmi
Buah
yang kita tanam di lembah keputusasaan adalah makanan yang kita makan
di puncak gunung. Kata orang bijak, putus asa dan kekacauan pikiran
selalu datang menghiasi kita, lalu apakah ini menarik untuk kita kenang.
Itulah kehidupan, dia harus ditatap seperti air yang mengalir, dalam
dimensi ruang dan waktu yang masih tersisa saat ini, banyak kegagalan
dan harapan tidak tercapai, namun orang langsung putus asa. Putus asa
juga pernah mampir di hati Yudistira. Sebagai manusia kondisi itu
alamiah, namun Yudistira saat ini merenung dan karena hatinya galau,
saat Bima mendapat giliran untuk tidur dengan Drupadi. Drupadi, istri
dari kelima bersudara itu sering menghadirkan rasa cemburu di antara
mereka, walaupun itu tidak diungkap secara nyata. Sebagai manusia,
perasaan itu pasti muncul namun pengendalian emosi adalah cerita yang
selalu hadir ketika kita menyimak kehidupan Panca Pandawa.
Drupadi
menjalani kehidupan poliandri. Seorang istri memiliki lebih dari satu
suami. Kondisi ini bukan tanpa alasan, yakni sebagai wujud kesetiaan
Panca Pandawa pada janji untuk setia pada kata-kata Ibu mereka. “Apa pun
yang engkau dapatkan harus engkau bagi sama rata dengan
saudara-saudaramu.” cerita kemudian menjadi tambah pelik, saat yang
didapat adalah seorang gadis. Konsekwensinya adalah itu pun harus dibagi
sama, karena dalam hati Pandawa hanya bersuara “hormati ibu sebagai
Tuhan, Mitru dewa bawa”. Namun, kondisi Drupadi sering diknitik oleh
para pemikir saat mi, bahwa poliandri Drupadi keliru. Namun, sebagai
masyarakat manusia haruslah arif bahwa poliandri memang pernah ada dalam
sistem komunitas manusia, dan sisa-sisa itu masih ada di Amerika Utara
sampai saat ini, seperti suku Mamot.
Drupadi wanita cantik, dan
membuat banyak laki-laki mengidolakannya. Hasrat laki-laki Yudistira pun
memuncak, ketika untuk pertama kalinya Bima mendapat giliran meniduri
Drupadi. Ada semacam perasaan lain muncul dalam hatinya, dia cemburu,
dan juga marah, namun semua sifat itu mampu dikendalikan sebagai bentuk
penghormatan kepada janji yang telah diikrarkan. Hidup adalah permainan
oleh karena itu nikmatilah sebagai bentuk permainan, hidup itu memang
indah, namun sering menjebak emosi manusia yang mengikuti indria.
Yudistira
merenung dan jantungnya berdetak. Oh malam ini jiwa ini ragu,
membayangkan engkau Drupadi diantar oleh Bima ke kamarnya, engkau
dituntun ke pura, aku bayangkan bahwa engkau rajin membuat banten, dan
tidur dengan suamimu yang baru, yang mulai engkau cintai karena
kekuatannya. Lalu, Yudistira berpikir dalam hati, “Apakah aku harus
datang untuk merebutmu, walaupun aku punya hati dan cinta, masihkah aku
tega melihat kamu menderita harus berpisah dengan orang yang bertanggung
jawab atas semua kekuranganmu.?”
Kalau itu terjadi, Kami akan
dihina sebagai bangsa ksatria, mereka pasti meneteskan air mata duka,
air mata penyesalan, betapa egoisnya aku. Betapa aku egois, betapa Aku
tidak tahu malu. Ibu yang lebih dahulu membukakan jalan kemudian ibu
yang menutup episode yang tidak baik ini. Ibu juga yang mengangkatmu
agar suci, agar tidak jatuh ke dasar jurang, lalu kenapa orang tua
seperti itu harus kita marahi, kita kutuk, betapa mulia hatinya
sebenarnya. Ayahmu juga begitu, dia ingin melepaskan episode yang sangat
menjengkelkan ini. Lalu apa yang harus engkau lakukan sekarang? Menjadi
bijaksana semacam Bhagawan Biasa, yang tenang dan damai. Bantulah dia
sepenuhnya, apa yang kamu bisa berikan, berikanlah padanyĆ”. Demikianlah
hati Yudistira berkecamuk. Jalankanlah niatmu itu, agar dia bahagia,
lentik bulu matanya, memelas untuk menjadikan engkau pujaannya, rasa iba
membuat engkau bijak. Inilah saatnya engkau menjadi manusia super,
manusia yang penuh dengan kebijaksanaan.
Yudistira, terkesiap,
ingat kata-kata ibu Kunti, “Saat sekarang betapa engkau ingin bahagia,
ingin bisa menerima semuanya, dengan kata-kata yang indah. Engkau pernah
berucap, puaslah dengan apa yang kita miliki sekarang biarlah hidup itu
mengalir. Mengalir apa pun yang terjadi itu bukan kehendak kita.
Setelah ingat itu dia berucap dalam hati. Semoga engkau bahagia,
bahagia, semoga bahagia, aku hadapi dengan dada yang dingin kondisi ini,
dengan pikiran yang suci dan pikiran apa adanya. Kini walaupun engkau
bergelut dengan Bima, aku memandang itu wajar.
Angin utara
berdesir sejuk, lalu melampiaskan banyak pasir yang menganga dalam hati,
dia menyirami hati yang duka, kini berangsur-angsur sembuh, terima
kasih guru, aku sudah bisa tenang. Ketenangan ini semoga bisa bertahan
lama. Kata Yudistira dalam lamunannya. Hati yang luka sudah mulai
mengering, tak ada yang menjadi beban. Hotel Indra Pura sudah berdebu,
pantai sanur sudah remuk, dan Pura Ponjok Batu sudah bersih. Aku mulai
menatapnya dengan indah.
Aku menatap wajah ibu Kunti yang semakin
bersemi, semakin berkesan dialah pujaan hatiku, ketika aim ditinggalkan
oleh kedukaan atas kematian ayah. Hanya dia yang bisa menghibur hatiku,
ketika aku digusur dari Astina hanya dia yang menjadi tumpuan hatiku,
aku berlabuh di pantai idamannya, aku bangga punya keluarga inilah
kekayaanku terbesar. Ketika Drupadi ikut dalam keluargaku, dia juga yang
menjadi mutiara kehidupanku, karena kecemburuanku bukan kekayaanku, dia
adalah semacam kerikil dalam perjalanan kehidupanku, Maafkanlah Tuhan,
aku telah terselip dan kini aku kembali ke jalan yang engkau kehendaki.
Aku sadar-sadar, dan sadar. Terima kasih Tuhan. Om Gam Ganapatayenamaha.
Raditya – 136 November 2008.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.