DESA Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli,
Bali, di sebelah timur Danau Batur, tampak mayat disemayamkan sanak
saudara di bawah pohon kemenyan Trunyan. Keunikan itu hanya untuk mayat
orang-orang tertentu saja.
Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali
asli). Trunyan memiliki banyak keunikan. Daya tariknya paling tinggi
adalah keunikan memperlakukan jenasah warganya. Trunyan memiliki tiga
jenis kuburan yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan
itu diklasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan
jenasah dan cara penguburan.
Kuburan utama, dianggap paling suci dan paling baik. Jenazah yang
dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh,
tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan
bunuh diri atau kecelakaan).
Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus diperuntukkan
bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan
syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas. Kuburan ini khusus untuk
jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah
pati (meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik
adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini
berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dengan dibatasi oleh
tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus
menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski
disebut dikubur, namun cara penguburannya unik, yaitu dikenal dengan
istilah mepasah.
Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan
begitu saja di atas lubang sedalam 20cm. Sebagian badannya dari bagian
dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut
hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu
membentuk semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra
Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang
untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu
dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu untuk
masyarakat biasa.
Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan
dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah
yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di
pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan
tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang.
Kuburan di Desa Terunyan |
Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian
tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan
upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya.
Upacara dilangsungkan untuk membayar utang jasa anak terhadap orang
tuanya. Utang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama
dibayarkan dengan perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan
tahap kedua pada waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku
ritual dalam bentuk upacara kematian.
Keunikan Trunyan yang lain adalah peninggalan purbakala. Prasasti
Trunyan tahun saka 813 (891 masehi) menyebutkan keberadaan sebuah pura
yang bernama Pura Turun Hyang. Di pura tersebut terdapat bangunan suci
meru yang bertumpang tujuh. Di dalam meru tersebut tersimpan sebuah
arca Batu Megalitik setinggi kurang lebih 4 meter yang oleh masyarakat
Trunyan sangat disakralkan. Arca tersebut juga dikenal dengan sebutan
Arca Da Tonta. Tempat berstananya Ratu Gede Pancering Jagat ini juga
dinamakan Pura Pancering Jagat.
Meru tumpang tujuh yang dilengkapi dengan arca setinggi 4 meter
tersebut dianggap sebagai simbol laki-laki. Simbol wanita ada pada
pelinggih Ida Ratu Ayu Dalem Pingit berupa meru tumpang tiga yang
dilengkapi dengan lambang tak dapat diukur dalamnya. Pelinggih simbol
purusa pradana menurut kepercayaan masyarakat desa Trunyan dan orang
Bali lainnya merupakan simbol kesuburan.
Trunyan juga memiliki ciri khas lain yaitu tarian sakral Barong
Brutuk. Tari ini dipentaskan pada saat upacara piodalan di Pura
Pancering Jagat yang jatuh pada Purnamaning Kapat. Menurut kepercayaan
masyarakat desa Trunyan. Pementasan Barong Bruntuk merupakan suatu
pertanda turunnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Ratu Pancering Jagat, Ratu Ayu Dalem Pingit, dan Ratu Sakti
Meduwegama.
Tari ini bertujuan untuk memohon keselamatan pada Tuhan. Sisi unik
desa Trunyan juga bisa dilihat dari sistem kemasyarakatannya. Pemuka
desa dikenal dengan istilah khusus. Bukan Bendesa Adat maupun Kepala
Desa, tetapi digunakan sebutan Jero Putus, Jero Gede, dan Jero Mekel.
Yang menjadi pemuka desa juga dipanggil dengan sebutan Jero Kebayan
Kiwa Tengen.
Sumber : http://travel.okezone.com/read/2011/02/21/407/426926/tradisi-masyarakat-desa-trunyan
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.