Oleh : Hariani Santiko
Majapahit banyak meninggalkan
tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu.
Bangunanbangunan suci im dikenal dengan nama candi, pemandian suci
(patirthan) dan gua-gua pertapaan. Selain itu terdapat pula sisa-sisa
bangunan lain, misalnya pintu gerbang yang kadangkala disebut candi
pula.
Bangunan-bangunan suci masa Majapahit ini kebanyakan
bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain
Candi Jago. Candi Bhayalangu, Candi Sanggrahan dan Candi Jabung, Sifat
keagamaan itu kita ketahui antara lain dan ciri-ciri arsitektural,
arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan dukungan bukti data
tekstual, misalnya Kakawin Nagarakrtagama, Kakawin Arjunawijaya, Kakawin
Sutasoma dan sedikit berita prasasti.
Di samping perbedaan latar
belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan
suci. Berdasarkan status bangunan-bangunan suci, kita dapat kelompokkan
menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang
berada di luar kekuasaan pemerintah pusat. Bangunan suci yang dikelola
oleh pemerintah pusat ada 2 macam yaitu:
1. Dharma -Dalm (Arj.
XXIII:2a), yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta
keluarganya. Menurut Nagarakretagama, setiap bangunan suci dikelola oleh
seorang sthapaka dan seorang wiku raja (wiku haji) dan secara
keseluruhan diawasi oleh seorang dharmadhyaksa di istana. Jumlah
Dharma-Haji ini ada 27 buah diantaranya Kegenengan, Kidal, Jajadhu,
Pikatan, Weleri, Sukalila, Kumitir (Pigeaud I, 1960:57).
2. Dharma-Ipas
adalah bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana)
pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan
untuk mata pencaharian mereka (pakajiwita) (Soepomo I, 1997:123).
Dharma-Ipas kasaiwan dikelola oleh seorang dharmadhyaksa ring kasaiwan,
Dharma-Ipas kasogatan dikelola oleh seorang dharmadhyaksa ring kasogatan
dan Dharma-Ipas karesyan dikelola oleh mantri-her-haji (Pigeaud 1,
1960-58).
Bangunan/tempat suci yang berada di luar pengelolaan
pemerintah pusat kebanyakan adalah milik para rsi (pertapa wanaprastha)
antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum bangunan/tempat suci
ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya yang terpencil.
Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama
yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru
(Santiko 1986, 1990).
Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1. Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi (fungsi ganda) yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, serta sekaligus sebagai; Kuil pemujaan dewa. Yang termasuk candi ganda antara lain Candi Jagi, Candi Pari, Candi Rimbi, dan Candi Simping (Sumberjati). Ciri candi kelompok ini adalah adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah area pendharmaan perwujudan (dewawimbha).
2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, pada umumnya tidak mempunyai garbhagrha dan arca perwujudan, tubuh candi diganti dengan altar dan/atau miniatur candi.Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Pananggungan, Lawu, Wilis dan sebagainya (Santika 1998).
1. Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi (fungsi ganda) yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, serta sekaligus sebagai; Kuil pemujaan dewa. Yang termasuk candi ganda antara lain Candi Jagi, Candi Pari, Candi Rimbi, dan Candi Simping (Sumberjati). Ciri candi kelompok ini adalah adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah area pendharmaan perwujudan (dewawimbha).
2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, pada umumnya tidak mempunyai garbhagrha dan arca perwujudan, tubuh candi diganti dengan altar dan/atau miniatur candi.Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Pananggungan, Lawu, Wilis dan sebagainya (Santika 1998).
Pejabat Keagamaan dan Agamawan di Majapahit
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanotunggadewi (ibunda Hayamwuruk) beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447, karena pejabat kedua agama itu terutama pejabat Buddha disebut terakhir kali dalam prasasti Waringin Piti (Hasan Djafar 1986 : 239-258). Saat pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa di bawahnya yang secara keseluruhan disebut Dharmapapati atau Dharmadhikarana. Lima pejabat Siwa ini pada pemerintahan Tribhuwana di tambah 2 orang dari agama Buddha, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang dan secara berkelompok disebut Sang Saptopapati (Van Naersen 1933:239-258).
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanotunggadewi (ibunda Hayamwuruk) beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447, karena pejabat kedua agama itu terutama pejabat Buddha disebut terakhir kali dalam prasasti Waringin Piti (Hasan Djafar 1986 : 239-258). Saat pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa di bawahnya yang secara keseluruhan disebut Dharmapapati atau Dharmadhikarana. Lima pejabat Siwa ini pada pemerintahan Tribhuwana di tambah 2 orang dari agama Buddha, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang dan secara berkelompok disebut Sang Saptopapati (Van Naersen 1933:239-258).
Disamping
pejabat resmi keagamaan, terdapat pula para agamawan, walaupun tidak
resmi mempunyai kedudukan dalam struktur birokrasi pemerintahan
Majapahit, tetapi mempunyai peranan penting di lingkungan istana. Dalam
sumber tertulis mereka disebut berkelompok, ada yang berkelompok 3
disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata dan kelompok 4 disebut catur
dwija yaitu mahabrahmana (wipra) saiwa-sogata-rsi. Kehadiran mereka
secara resmi telah disebut dalam prasasti-prasasti Airlangga. Kelompok
rsi dalam prasasti Airlangga disebut walkali atau walkaladhara
(berpakaian kulit kayu). Rsi di sini bukan rsi tokoh mitos seperti
Narada, Vivamitra, Kasyapa dan sebagainya, tetapi para pertapa yang
sedang menjalani tahap hidup wanaprastha dan sanyasin atau bhiksuka
(Santiko 1986, 1990).
Mahabrahmana yang disebut juga wira, adalah
pendeta ahli Weda, agama dan filsafat Hindu; mungkin sebagian
didatangkan dan India dan mungkin bertindak sebagai purohita di istana
Majapahit. Dalam Nagarakrtagama pupuh XII:I disebutkan seorang pendeta
(dwija) Siwa bernama Sri Brahmaraja, dan dalam pupuh LXXXIII:3,
mengatakan bahwa 3 orang dwija diketuai oleh Sri Brahmanaja, seorang
ahli dalam ajaran agama, filsafat Nyaya, Samikhyatarka Wyakarana dan
ajaran Weda, mereka tinggal di istana dan sangat dihormati. Menurut
Pigeaud kemungkinan mereka datang dari India (Pigeaud I, 1960:64, IV
1962:269-270). Nama Sri Brahmaraja terdapat pula pada prasasti Nglawang
kira-kira dari tahun 1350, dan prasasti Ptak dan Jiu yang dikeluarkan
pada tahun 1486. Dan beberapa sumber ini dianggap bahwa Sri Brahmaraja
Ganggadhara dalam kedua prasasti terakhir berbeda dengan Sri Brahmaraja
yang datang ke istana Majapahit masa Hayam Wuruk.
Agama Siwa Buddha
Pembaharuan / pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya mempertemukan kedua agama tersebut belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat din dalam menghadapi musuh dan Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara yang bernama Buddha Mahayana Tantrayana, membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari, dekat kota Malang. Dalam Nagarakrtagama pupuh LV:Id dikatakan.. entun yang dwaya saiwa budha sang amuja nguni satata artinya “itu sebabnya kedua (pemeluk) Siwa dan Buddha dahulu melakukan puja secara teratur”. Puja teratur dilakukan oleh para penganut Siwa maupun Buddha di Candi Jawi tersebut. Candi Siwa-Buddha seperti yang dibuat oleh Krtanagara memang tidak dijumpai pada jaman Majapahit, tetapi, uniknya, candi yang bersifat Buddha masa Majapahit tidak segan-segan menghias dindingnya dengan relief cerita yang bersifat Siwa dan begitu sebaliknya. Misalnya Candi Jago yang bersifat Buddha menghias dinding candinya dengan relief cerita Arjunawiwaha, Parthayajna dan Kalayanawanantaka yang semua cerita Siwa. Sebaliknya Candi Panataran yang bersifat agama memahat cerita Bubuksah Gagangaking yang bersifat Buddha di dinding salah satu bangunan candi tersebut.
Pembaharuan / pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya mempertemukan kedua agama tersebut belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat din dalam menghadapi musuh dan Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara yang bernama Buddha Mahayana Tantrayana, membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari, dekat kota Malang. Dalam Nagarakrtagama pupuh LV:Id dikatakan.. entun yang dwaya saiwa budha sang amuja nguni satata artinya “itu sebabnya kedua (pemeluk) Siwa dan Buddha dahulu melakukan puja secara teratur”. Puja teratur dilakukan oleh para penganut Siwa maupun Buddha di Candi Jawi tersebut. Candi Siwa-Buddha seperti yang dibuat oleh Krtanagara memang tidak dijumpai pada jaman Majapahit, tetapi, uniknya, candi yang bersifat Buddha masa Majapahit tidak segan-segan menghias dindingnya dengan relief cerita yang bersifat Siwa dan begitu sebaliknya. Misalnya Candi Jago yang bersifat Buddha menghias dinding candinya dengan relief cerita Arjunawiwaha, Parthayajna dan Kalayanawanantaka yang semua cerita Siwa. Sebaliknya Candi Panataran yang bersifat agama memahat cerita Bubuksah Gagangaking yang bersifat Buddha di dinding salah satu bangunan candi tersebut.
Pembauran Agama Siwa-Buddha ini sebenarnya hanyalah
sebatas mempersamakan kenyataan tertinggi (the Supreme Being) kedua
agama beserta segala emanasinya, disertai pembauran beberapa konsep
kedua agama tersebut, namun bukan pembauran seluruh sistem. Kedua agama
tersebut masih tetap eksis dengan penganut masing-masing yang
menjalankan tata upacara sesuai ajaran dan aturan agama mereka, demikian
pula mereka masih tetap memiliki bangunan-bangunan suci sendiri.
Pembauran
agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara
mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda
sifat keagamaannya. Misalnya Kertarajasa, raja pertama Majapahit,
di-dharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa
(Siwawimbha) dan Antahpura sebagai Buddha. Raja Jayabaya, raja ke dua
Mahapahit, di-dharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila
sebagai Buddha. Mewujudkan raja yang wafat sebaligus sebagai Siwa dan
Buddha membuktikan adanya kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam
agama Siwa maupun Budha tidaklah berbeda, seperti yang disebut dalam
Kakawin Sutasoma pupuh CXXXIX “hyang budha tan pahi lawan siwa rajadewa
“.
Agama Siwasiddhanta
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah agama Siwadiddhanta (Siddhantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa raja Sindok (abad X). Sumber ajaran agama Siwasiddhanta adalah kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok dan yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran Agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
• Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
• Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud-tak terwujud (sanakalaniskala);
• Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala);
Disamping membicarakan tattwa Siwa, Tutur membicarakan pula tentang pencapaian kalepasan, yaitu kesempurnaan yang dicapai waktu masih hidup; kamoksan, yaitu kesempurnaan setelah meninggal; peleburan diri dalam kehampaan (Sunya), yang dalam sumber tertulis disebut dengan istilah mulih atau mantuk, misalnya mantuk ing Siwapada, mantuk ring swargga loka. Salah satu usaha pencapaian kelepasan dan kamoksan adalah dengan cara pemujaan lingga yang dapat melenyapkan dosa (kiesa). Apa yang ditulis dalam Tutur diajarkan oleh para siddharsi (dewaguru) di mandala-mandala (kadewaguruan). Disamping diberi pengertian tentang Paramasiwa yang juga disebut pula sebagai Bhatara Guru atau Hyang Jagatparamana, diajarkan pula pada para murid (sisya, kaki, endang) tata upacara yang harus dilakukan sebelum berkomtemplasi tentang pembebasan jiwa, yoga dan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang tinggi.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah agama Siwadiddhanta (Siddhantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa raja Sindok (abad X). Sumber ajaran agama Siwasiddhanta adalah kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok dan yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran Agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
• Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
• Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud-tak terwujud (sanakalaniskala);
• Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala);
Disamping membicarakan tattwa Siwa, Tutur membicarakan pula tentang pencapaian kalepasan, yaitu kesempurnaan yang dicapai waktu masih hidup; kamoksan, yaitu kesempurnaan setelah meninggal; peleburan diri dalam kehampaan (Sunya), yang dalam sumber tertulis disebut dengan istilah mulih atau mantuk, misalnya mantuk ing Siwapada, mantuk ring swargga loka. Salah satu usaha pencapaian kelepasan dan kamoksan adalah dengan cara pemujaan lingga yang dapat melenyapkan dosa (kiesa). Apa yang ditulis dalam Tutur diajarkan oleh para siddharsi (dewaguru) di mandala-mandala (kadewaguruan). Disamping diberi pengertian tentang Paramasiwa yang juga disebut pula sebagai Bhatara Guru atau Hyang Jagatparamana, diajarkan pula pada para murid (sisya, kaki, endang) tata upacara yang harus dilakukan sebelum berkomtemplasi tentang pembebasan jiwa, yoga dan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang tinggi.
Di samping agama
Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, tetapi tidak
sepenting agama Siwa. Dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa
pelindung (istadewata) bagi para raja serta pahlawan, bukan sebagai dewa
tertinggi, karena fungsi Wisnu sebagai dewa pelindung dunia.• WHD. No.
488 Agustus 2007.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.