Bangunan Air di Situs Majapahit
Oleh : Karma Arifin
Oleh : Karma Arifin
Berbicara
tentang bangunan air di Majapahit, kita mengenal waduk dan kanal,
termasuk di dalamnya kolam dan saluran air, yang sampai sekarang masih
ditemukan sisa-sisa bangunannya.
Bangunan Air di Situs Majapahit
Oleh : Karma Arifin
Oleh : Karma Arifin
Berbicara
tentang bangunan air di Majapahit, kita mengenal waduk dan kanal,
termasuk di dalamnya kolam dan saluran air, yang sampai sekarang masih
ditemukan sisa-sisa bangunannya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah dilakukan, diketahui bahwa pemerintah kerajaan dan masyarakat
Majapahit membuat bangunan-bangunan air tersebut sebagai fungsi
pengelolaan air. Kanal dan saluran air dibangun untuk kepentingan
irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk;
kolam-kolam berfungsi sebagai tempat penampungan dan penyimpanan air
serta pengendali banjir.
Hasil
penelitian membuktikan sekurangnya terdapat 20 waduk kuno yang tersebar
di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuno,
Waduk Bauno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton dan Kedung Wulan merupakan
waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya d
antara Kali Gunting disebelah barat dan Kali Brangkal di sebelah timur.
Lima waduk yang pertama masih dapat ditemukan, namun waduk Kedung Wulan
tidak terlihat lagi sisa-sisa bangunarinya, baik pada foto Udara maupun
di lapangan.
Waduk Baureno adalah waduk yang terbesar.
Bendungannya dikenal dengan sebutañ Candi Lima. Waduk ini terletak 0,5
km dan pertemuan Kali Boro dengan Kali Pikatan membentuk Kali Brangkal.
Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang cukup besar
ini, pada sisi barat dahulu terdapat Waduk Dornas. Tampaknya palung Kali
Brangkal di desa Kedungrupit, sebelum mencapai Waduk Domas, diperdalam
untuk memperlancar aliran sungai sehingga ketika musim hujan tiba air
yang melimpah dapat dikendalikan dan tidak meluap menggenangi kota
Majapahit. Di tempat ini lebar sungai hanya 10 meter dan tebingnya yang
curam jelas merupakan buatan manusia.
Waduk Kumitir, yang sekarang
dikenal penduduk sebagai Rawa Kumitir, merupakan daerah yang lebih
rendah di antara daerah pesawahan yang luas yang terletak di sebelah
barat Waduk Kumitir berhasil menemukan susunan bata yang diperkirakan
merupakan sisa tanggul waduk tersebut.
Dan Waduk Baureno tampak
sebuah saluran air yang mengalir masuk ke sebelah tenggara Waduk
Kumitir. Saluran air lainnya mengalirkan air dan bagian utara Waduk
Kumitir ke aráh barat laut menuju sebuah cekungan alamiah yang tidak
terlalu besar, disebut Waduk Kraton, letaknya di utara Gapura ajangratu.
Waduk yang terakhir adalah Waduk Temon yang letaknya di Selatan Waduk
Kraton, di barat daya Waduk Kumitir. Di tempat ini sekarang banyak
ditemukan mata air. Di samping waduk-waduk, di Trowulan terdapat tiga
buah kolam buatan yang terletak berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder
dan Balong Dowo, Kolam Segaran memperoteh air dari saluran yang berasal
dari Waduk Kraton. Di utara Segaran ditemukan saluran lainnya yang
mengalirkan air keluar dari Segaran. Balong Dowo saat ini merupakan rawa
yang ditumbuhi rumput liar, terletak 125 meter di sebelah barat daya
Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding
tebal dan bata-bata besar di keempat sisinya. Sekarang merupakan
peninggalan bangunan air yang terlibat paling monumental di kota.
Majapahit.
Kolam Segaran untuk pertama kalinya ditemukan oleh
Maclaine Pont pada tahun 1926 yang ketika itu sedang menekuni pencarian
reruntuhan kota Majapahit. Kolam ini berukuran panjang 375 meter, lebar
175 meter, dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timur laut -
barat daya. Dinding-dindingnya dibangun dari batu-bata yang direkatkan
tanpa bahan perekat dengan cara menggosok pemukaan bata satu sama lain
hingga rekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat
saluran masuk ke kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran
keluar yang menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder. Karena ada saluran
keluar dan saluran masuk, maka masuk akal jika kolam Segaran berfungsi
sebagai waduk penampungan dari satu sistem irigasi. Para ahli menduga
bahwa kolam Segaran tidak lain adalah “telaga” seperti yang disebutkan
dalam kitab Nagarakrtagama Pupuh 8 : 5.
Keberadaan waduk-waduk di
sekitar kota Majapahit telah diketahui sejak tahun 1924, tetapi baru
pada tahun 1970-an, dari foto udara yang dibuat di Situs Trowulan dan
sekitarnya, diketahui dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur
yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan
barat-timur. Di samping itu ada pula jalur-jalur yang agak menyerong.
Lebar jalur-jalur tersebut bervariasi, umumnya antara 35 - 45 meter,
tetapi ada pula yang hanya 12 meter dan ada yang mencapai 94 meter.
Perbedaan lebar ini disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini
berkenaan dengan pertanian dan pembuatan bata yang cenderung mengikis
tanggul-tanggul kanal tersebut atau membuat jalur barru yang polanya
sama dengan kanal-kanal yang sudah ada (utara-selatan atau barat-timur).
Melihat kegiatan masyarakat masa kini kanal-kanal tersebut dahulu
tentunya tidak selebar yang terlihat sekarang.
Kanal-kanal ini di
daerah pemukiman terlihat jelas sebagai daerah yang lebih rendah dan
merupakan daerah pesawahan. Pengeboran yang pernah dilakukan pada
sejumlah kanal memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sampai sedalam
empat meter. Hal ini menunjukkan bahwa jalur-jalur tersebut dahulu jauh
lebih dalam dari sekarang dan dialiri oleh air. Di samping itu, di
daerah yang padat temuan arkeologinya, yang diperkirakan sebagai pusat
kota, pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter, yang memberi
kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul. Pada waktu yang
lalu kedua tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26
meter diberi tanggul bata. Mungkin tidak semua kanal di situs ini diberi
tanggul, hanya pada lokasi-lokasi tertentu yang dianggap penting untuk
diperkuat.
Kanal-kanal ini ada yang ujungnya berakhir di Waduk
Temon dan Kali Gunting. Sekurang-kurangnya tiga kanal mempunyai ujung
yang berakhir di Kali Kepiting, di selatan kota Majapahit. Kali kepiting
ini memperoleh airnya dari Waduk Temon.
Kanal. waduk, dan kolam
buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil,
yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di Trowulan
gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan. Ukurannya yang
cukup besar memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi
Tikus yang merupakan pemandian (petirtan) misalnya, mempunyai
gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar
candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula
ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah. Di samping itu,
ditemukan pula pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk
menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata
di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana
masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap
sanitasi dan pengendalian air.
Jelaslah bahwa ada kaitan yang erat
antara kanal, waduk kuno serta kolam buatan yang ada di kota Majapahit.
Bangunan-bangunan air ini dibuat dengan perencanaan yang matang dan
tenaga manusia yang tidak sedikit. Tampaknya pembangunan waduk-waduk
yang umumnya terletak di timur dan tenggara pusat kota ini selain untuk
menampung air untuk irigasi, dimaksudkan juga untuk mengendalikan air
pada musim hujan. Waduk-waduk ini dapat menampung luapan air agar pusat
kota terhindar dari bahaya banjir. Kanal-kanal yang cukup lebar
menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekedar untuk mengairi sawah
(irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat
dilalui oleh perahu kecil. Hal lain yang dapat diperhitungkan adalah
kemungkinan kanal-kanal tersebut mempunyai arti kosmomagis, dimana iklim
daerah Trowulan yang kemaraunya lebih panjang akan menjadi lebih sejuk.
Melihat
besarnya bangunan-bangunan air ini dapat diperkirakan bahwa
pembangunannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur, bukan
saja dalam hal pengaturan sumberdaya manusianya, tetapi juga penyediaan
logistik bagi para pekerja. Pemeliharaan bangunan-bangunan air serta
jaringan pendukungnya juga membutuhkan struktur masyarakat yang teratur
dan terkoordinir dengan baik. Skala bangunan air yang ada jelas
menunjukkan bahwa masyarakat yang menghasilkannya merupakan masyarakat
perkotaan yang maju dan sadar bahwa daerah hunian mereka merupakan
daerah rawan banjir, tetapi dapat dikendalikan. Hal ini terbukti dari
pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki yang memungkinkan mereka
mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindung serta
aman dihuni. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa ada sebagian
pemukiman, termasuk Gapura Bajangratu, dibangun di atas lapisan lahar.
Hal ini memperlihatkan bahwa perkembangan penduduk telah menyebutkan
dibukanya lahan baru bagi pemukiman dan pertanian, termasuk
daerah-daerah yang dianggap kurang ideal karena letaknya di bagian yang
sering terlanda banjir. Dengan dibangunnya waduk-waduk dan kanal-kanal
yang dapat mengendalikan banjir, maka wilayah yang sebelumnya rawan
banjir dapat dilindungi dan dikembangkan sebagai tempat pemukiman dan
pertanian.
Sampai sekarang baik dari prasasti maupun naskah-naskah
kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal
ini dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya waduk dan
kanal-kanal ini mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro pada tahun
1451 yang membawa lapisan lahar yang tebal yang membobol Waduk Baureno
dan mengakibatkan kerusakan pada waduk-waduk lain serta sistern jaringan
air yang ada di kota Majapahit. Pada sisa waduk-waduk tersebut terlihat
lapisan lahar yang menutupi dasarnya. Candi Tikus yang letaknya di
antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhya pernah tertutup
oleh lahar. Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan,
ditambah dengan munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir menyebabkan
kerusakan bangunan-bangunan air di kota Majapahit tidak dapat diperbaiki
seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus terjadi
mengakibatkan daerah ini tidak layak dihuni dan pertanian tidak lagi
menghasilkan panen yang menguntungkan. Hal inilah yang kemungkinan besar
mengakibatkan kota Majapahit semakin tidak terawat dan perlahan-lahan
ditinggalkan oleh penduduknya. WHD No. 506 Pebruari 2009.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.