PADA hari Nyepi tahun 1936, ada hal menarik yang terjadi di Bali. Tak jelas di daerah mana terjadi, tetapi begini kisahnya.
Saat itu suasana Bali sunyi sepi. Masyarakat tinggal di dalam rumah.
Di jalanan yang beraspal, hanya kelihatan petugas patroli, kini petugas
itu disebut dengan pecalang. Kesunyian tiba-tiba pecah karena ada mobil
yang mengangkut bulè lewat. Pecalang menghentikan mobil itu. Sang sopir
tidak gentar, malah dengan percaya diri dia mengatakan bahwa mereka
bekerja untuk KPM.
KPM adalah Koninklijke Paketvaart Maatschappij,
perusahan pelayaran Belanda yang mengoperasikan kapal dagang dan kapal
wisata di jalur Jawa-Bali-Sulawesi. Perusahaan ini juga pemilik dan
pengelola Bali Hotel (Jalan Veteran Denpasar) yang dibangun 1928.
Setelah mendengar bahwa kendaraan itu milik KPM, pecalang mundur
ketakutan, mempersilakan kendaraan yang mengangkut bule itu lewat.
Pecalang tidak bisa berkutik karena pada zaman kolonial, suka atau
tidak, Bali adalah milik Belanda, ‘milik KPM’. Kuasa ada di tangan
mereka, tradisi dan budaya dikalahkan.
Kisah Nyepi di Bali tahun 1936 itu dikisahkan antropolog Dr. Margaret
Mead. Dialah bulè yang menumpang kendaraan KPM waktu itu. Mead tiba di
Bali pas hari Nyepi. Dia didampingi suaminya, Gregory Bateson, juga
seorang antropolog.
Hari pertama di Bali, Mead dan Bateson pergi ke Ubud, bertemu Walter
Spies, pelukis dan direktur Museum Bali waktu itu. Di sana, Mead dan
Bateson bertemu banyak sarjana Barat yang melakukan riset di Bali,
antara lain Beryl de Zoete, partner Spies dalam menulis buku Dance and Drama in Bali (1937).
Mead dan Bateson melakukan penelitiannya di Bayung Gede, Bangli, dan tahun 1942 menerbitkan buku Balinese Character: A Photographic Analysis (Karakter orang Bali, Sebuah Analisis Fotografi).
Revolusi
Suasana perayaan Nyepi di Bali diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi.
Suasana perayaan Nyepi di Bali diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi.
Tahun 1960-an, ketika semangat revolusi sedang berobar-kobar,
ucapan-ucapan untuk perayaan Nyepi juga berisi kata-kata ‘revolusi’. Hal
ini bisa dilihat dari iklan-iklan ucapan selamat Nyepi yang dipasang di
surta kabar ketika itu.
Hal ini misalnya bisa dilihat dari iklan selamat Nyepi tahun 1966
dari Gubernur Bali. Iklan itu berisi harapan agar Ida Sang Hyang Perama
Kawi melimpahkan harapan-Nya kepada kita sekalian dalam kita menenuaikan
tugas dalam memenangkan revolusi kita yang mahabesar untuk mencapai
keagungan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia yang adil dan makmur
(lihat ilustrasi di atas).
Pesan serupa juga terlihat dalam iklan Nyepi yang dipasang PT GIEB
(Gabungan Impor dan Ekspor Bali). Iklan untuk Nyepi 1966 itu berisi
ajakan kepada masyarakat menyambut Nyepi dengan ‘prihatin’. Kemudian
ditulis: ‘Mari kita tingkatkan kewaspadaan untuk menyelesaikan revolusi
guna memenuhi Ampera’. Ampera artinya amanat penderitaan rakyat. Ucapan
Nyepi dijadikan arena untuk menyisipkan pesan politik (lihat ilustrasi
di bawah).
Pada zaman dulu, perayaan Nyepi di Bali tidak seragam. Kecuali pada
ketentuan amati geni yang biasanya ditandai malam tanpa lampu, konsep
amati lelungan (tidak bepergian) ditafsirkan secara berbeda dari satu
desa ke desa lain.
Di beberapa desa, warga memang tinggal di rumah saat Nyepi, tetapi di
desa lainnya warga ke luar rumah, rame-rame di jalan hanya saja mereka
tidak mengendarai mobil, motor, atau sepeda. Nyepi justru dijadikan
untuk ngumpul di ruang publik, yang penting tidak mengendarai kendaraan.
Anak-anak main kasti atau loncat karet di jalan raya. Kalau ada
pecalang, barulah mereka masuk rumah, dan ke luar lagi kalau pecalang
menghilang.
Nyepi juga dimanfaatkan pencuri untuk beraksi. Menurut catatan, pada
Nyepi tahun 1970, yang jatuh 9 Maret, Toko Djaja Agung di Jalan Gajah
Mada Denpasar mengalami kecurian. Toko yang menjual arloji ini
kehilangan 89 jam tangan, kerugian ditaksir Rp 200 ribu-300 ribu.
Tetapi, pencuri itu malang. Esoknya, dia ditangkap seorang jaksa di
Tabanan karena gerak-geriknya mencurigakan. Pencuri itu menawarkan jam
berkualitas baik dengan harga murah. Setelah digeledah, ternyata dia
membawa arloji sebanyak jam yang diambil di Toko Djaja Agung.
Sebagai daerah pariwisata, Bali menghadapi banyak cobaan membuat
Nyepi berlangsung khidmat. Kalau kendaraan bisa ditsop, pesawat terbang
rada sulit. Pada Nyepi tahun 1969 yang jatuh 20 Maret 1969, misalnya,
Bupati Badung dan Gubernur Bali menolak permohonan Garuda terbang pada
hari Nyepi, kalau transit saja boleh. Nyatanya, penerbangan yang
dianggap sebagai aktivitas dengan koneksitas internasional lama sekali
tidak bisa dihentikan ke Bali saat Nyepi.
Akibatnya jelas, pegawai biro perjalanan dan hotel, harus mendapat
dispensasi untuk menjemput dan mengantar tamunya ke bandara. Antara
1970-an sampai kira-kira 1990-an, banyak karyawan yang bekerja di sektor
pariwisata meminta dispensasi untuk bekerja saat Nyepi. Karena
masyarakat yang merayakan Nyepi merasa terganggu, jumlah dispensasi
makin ditekan.
Baru sesudah reformasi, sejak tahun 1999/2000, pemerintah daerah dan
lembaga masyarakat lainnya bisa mendesak pemerintah untuk menutup Bandar
Udara Ngurah Rai saat Nyepi. Kini pelabuhan dan Bandara tutup
sepenuhnya untuk semua penerbangan pada hari Nyepi. Tidak akan ada
wisatawan seperti Margaret Mead dan Gregory Bateson yang tiba pas Nyepi
di Bali.
Dewasa ini, pecalang bisa menertibkan Nyepi dengan optimal antara
lain juga karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk Nyepi yang
khusyuk dan hening. [b]
Keterangan: tulisan diambil dari blog Dasar Bali.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.