Jalan menuju Pura Sad Kahyangan Lempuyang menanjak dan berkelok-kelok.
Sampai di tempat parkir pura, hawa yang begitu sejuk menyambut seolah
melepas penatnya perjalanan. Petualangan menuju pura baru saja akan
dimulai. Sementara sibuk menyiapkan peralatan sembahyang, saya tidak
lupa menyiapkan sebotol air mineral. Perjalanan pasti akan sangat
melelahkan. Namun, satu hal yang mesti diiingat, “katanya” ketika dalam
pendakian menuju pura tak boleh bilang capek.
Logis saja. Ketika berpikir perjalanan melelahkan, masih jauh atau
takkan sampai-sampai, maka para penangkil (umat yang akan bersembahyang
di pura) akan menjadi semakin lelah dan kurang bersemangat.
Menapaki jalan aspal menanjak yang agak kasar, langkah-langkah kaki
terasa berat. Ojek-ojek pun berkerumunan memburu para penangkil yang
mungkin merasa kelelahan ataupun malas untuk jalan kaki.
Tiba di pura pertama yaitu Pura Penataran. Tangga-tangga menjulang
tinggi menyambut kehadiran para penangkil. Namun, ketika sampai di Nista
Mandala pura, woooww pemandangan begitu menakjubkan menunjukkan
keelokannya. Diterangi sinar Sang Surya yang cerah, terlihat wilayah
hutan Karangasem yang menghijau.
Bagian paling penting di sana bukan hutan itu tetapi gundukan tanah
menjulang tinggi dibalut pepohonan hijau. Yaaa, itulah gunung tertinggi
di Bali, Gunung Agung. Siapa pun yang memperoleh kesempatan menyaksikan
pemandangan menakjubkan akan membuatnya berhenti sejenak, merasa kecil,
bangga, syukur yang teramat sangat. Seolah bercengkerama dengan
awan-awan yang mengelilinginya, Gunung Agung benar-benar menunjukkan
keagungannya ketika itu.
Memudar
Semakin rendah di hadapan alam yang begitu besar, keangkuhan akan nikmat dan semaraknya duniawi serasa semakin memudar sembari menuntun menuju pemujaan kepada Hyang Widhi di Pura Penataran. Arsitektur yang megah, sebuah candi bentar dibalut batu putih seolah-olah memisahkan keduniawian para umat menuju Madya Mandala.
Semakin rendah di hadapan alam yang begitu besar, keangkuhan akan nikmat dan semaraknya duniawi serasa semakin memudar sembari menuntun menuju pemujaan kepada Hyang Widhi di Pura Penataran. Arsitektur yang megah, sebuah candi bentar dibalut batu putih seolah-olah memisahkan keduniawian para umat menuju Madya Mandala.
Bale memanjang di sisi kanan candi bentar dan sebuah bale yang lebih
kecil di sisi kiri mempersilakan para penangkil yang merasa kelelahan
untuk beristirahat sejenak. Terlihat tiga buah kori putih menjulang
tinggi dan beberapa ekor naga menjulur ke arah Madya Mandala.
Patung-patung denawa pun menyemarakkan megahnya gaya arsitektur di
sini. Di pojok kiri berdiri sebuah bale kul-kul yang juga berwarna
putih.
Menuju ke Utama Mandala tangga-tangga curam harus dilewati. Ketika
menoleh ke belakang. Kemegahan Gunung Agung seolah mendorong dan
menyemangati dari belakang. Dan sekali lagi siapa pun yang kembali
menoleh ke arah barat akan berkata, “Waaaahhh, terlalu menakjubkan.”
Beberapa pelinggih berjejer di sebelah timur dan lebih sedikit di
bagian utara. Beberapa berbentuk padmasana seperti pada umumnya. Seorang
pemangku melakukan pemujaan, pemandangan yang sangat biasa kita
saksikan di pura-pura.
Tetapi kali ini, persembahyangan dilakukan beberapa ratus meter di
atas permukaan laut, kesempatan yang sangat jarang. Tenang, hening dan
khusyuk.
Ketika selesai melakukan persembahyangn, wangsuhpada yang dingin
sedikit akan mengejutkan badan. Menuju ke pura selanjutnya yaitu pura
Telaga Mas, jalan aspal yang menanjak kembali mengiringi perjalanan.
Keriuhan
Warung-warung berjejeran di sepanjang jalan menuju tempat persembahyangan. Lebih enak jika santai sejenak, menikmati air mineral seraya menikmati keindahan alam alami. Menghela napas panjang sebelum menghaturkan bakti.
Warung-warung berjejeran di sepanjang jalan menuju tempat persembahyangan. Lebih enak jika santai sejenak, menikmati air mineral seraya menikmati keindahan alam alami. Menghela napas panjang sebelum menghaturkan bakti.
Jika beruntung dapat dijumpai beberapa monyet liar bergelantungan di
dahan pohon. Mereka akan membuat keriuhan kecil. Lucu dan agak
menakutkan, tapi cukup menghibur, dalam helaan napas tak teratur.
Suasana hening sejenak ketika semua terkonsentrasi pada satu, Hyang
Widhi, diiringi gema suara genta, dan puja-puja mantra. Air suci pun
dipercikan ketika persembahyangan telah usai. Ini baru seperlima dari
perjalanan, dan jalanan becek denagn medan yang lebih berat masih
tersedia di depan.
Selanjutnya saya melakukan persembahyangan di dua buah pura yang tak
terlalu luas. Saya lupa nama puranya karena tak ada tulisan atau papan
nama di depan pura. Itu tentu tak menjadi masalah, yang jelas sujud
bakti yang ikhlas kepada-Nya.
Dalam perjalanan selanjutnya menuju pura Pasar Agung, tangga-tangga
yang berjejer rapi membentuk irama menunggu untuk dilewati. Untungnya,
ada pegangan besi yang membantu. Selalu ada warung ataupun pedagang
asongan yang duduk-duduk di samping penangkil seolah menanti para
penangkil haus atau bahkan lapar, di tengah perjalanan ini.
Satu buah pelinggih berbentuk padmasana berwarna putih terdapat di
sini. Walaupun tak ada pemisah atau pagar yang memisahkan pura ini
dengan jalan menuju Pura Luhur suasana persembahyangn tetap berlangsung
dengan khusuk. Air wangsuhpada pun terasa semakin dingin saja.
Kini jalan menuju Pura Luhur kondisinya berbeda dengan jalan-jalan
yang dilewati tadi. Lebih nyaman untuk berjalan karena ada batu-batu
tipis yang tertata rapi sehingga perjalanan terasa lebih ringan. Namun,
tak tertinggal tangga-tangga menanjak yang membuat kaki makin terasa
pegal.
Sebuah tugu kecil bertuliskan Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur
menyambut. Ini merupakan pura terakhir dan pura yang paling utama. Tak
terlalu luas memang, tapi suasana yang dihadirkan di puncak ini pun
semakin terasa begitu tenang.
Menghadap ke Barat tepat di depan Candi Bentar, ujung Gunung Agung
yang menjulang tinggi terlihat semakin memesona. Persembahyangan
dimulai, angin puncak yang mendesir menyapa saraf-saraf yang semakin
letih, tak dapat disangkal lagi inilah hawa sejuk istana Hyang Gni Jaya.
Terdapat dua buah pelinggih menghadap ke barat. Bentuknya hampir sama
dengan pelinggih yang terdapat di Pura Pasar Agung, dan di Timur Laut
terdapat Padmasana yang lebih tinggi. Uniknya di utama mandala pura ini
tumbuh bambu yang di dalamnya terdapat air yang dipergunakan sebgai
wangsuhpada. Adapun beberapa masyarakat yang nunas air suci ini untuk
dibawa pulang.
Sungguh pendakian menakjubkan. Perjalanan begitu panjang dan
melelahkan terhapus sudah oleh keindahan alam yang sulit akan ditemui di
mana pun. Hal terpenting pencarian akan makna diri dan pendakian
spiritual yang mewujudkan bakti umat ke hadapan yang satu Ida Sang Hyang
Widhi Wasa
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.