Kotak Pandora. Istilah itulah yang digunakan oleh Nyoman Sukma Arida
untuk menggambarkan kondisi Bali di dekade pertama abad 21. Kotak
Pandora, kotak yang begitu dibuka akan melepaskan begitu banyak
malapetaka di dunia: masa tua, rasa sakit, kegilaan, keserakahan, dan
lain-lainnya.
Sukma memang menggambarkan berbagai “malapetaka” gumi Bali dalam buku
ini. Mulai dari mahalnya biaya untuk upacara agama, ludesnya
tanah-tanah Bali dilahap investor, menjamurnya mal di sudut-sudut kota,
hingga kerusuhan berkedok kasus adat. Masing-masing dikemas dalam bentuk
esai. Total ada 25 esai yang dirangkum dalam buku setebal 133 halaman
ini.
Pembahasannya komprehensif, tidak ada
yang lepas dari pengamatan penulis. Kalimat-kalimatnya mengalir jernih.
Maklum, penulisnya selain akademisi, dosen di Fakultas Pariwisata
Universitas Udayana Bali juga pernah menjadi wartawan majalah budaya
Sarad (majalahnya sekarang sudah almarhum) pada tahun 2002-2005.
Latar belakang penulis sebagai akademisi dan pernah menjadi wartawan
membuat esai-esai di buku ini bisa ditulis secara sederhana tapi
menarik, bebas jargon akademis. Kelebihan lainnya, sebagian esai
dilengkapi dengan data dan analisis menarik, misalnya biaya dan waktu
yang dihabiskan untuk kewajiban adat.
Rata-rata esai ditulis dengan menampilkan tokoh-tokoh orang-orang
biasa, yang mengalami masalah yang juga dihadapi oleh orang Bali pada
umumnya. Ada I Lugra yang kesulitan waktu dan uang karena punya
kewajiban ngayah di 13 pura. Ada I Gede, yang harus menjual tanah untuk
menyelesaikan bangunan bale dan sanggah karena mengikuti saran seorang
balian. Ada pula ilustrasi keluarga Bali modern yang setiap minggu
jalan-jalan ke mall mengikuti keinginan anak-anaknya.
Tak luput diceritakan pengalaman pribadi penulis yang mengalami
kesulitan mengatur waktu untuk menulis karena disela kewajiban-kewajiban
adat. Hal-hal seperti ini yang jarang muncul di permukaan, tenggelam
oleh riuh-rendah pariwisata, kampanye pemilu, dan pilkada.
Buku Pandora Bali ini masuk dalam genre buku observasi tentang Bali
yang ditulis oleh orang Bali sendiri. Genre ini dipelopori oleh Putu
Setia dengan buku “Menggugat Bali” di tahun 1986, dan kemudian
dilanjutkan Aryantha Soetama yang produktif dengan buku-buku kumpulan
tulisannya, antara lain “Jangan Mati di Bali”, “Bali Tikam Bali”, dan
“Basa Basi Bali”.
Jika Anda menggemari gaya penulisan Putu Setia dan Aryantha Soetama, Pandora Bali merupakan sequel yang layak serta enak dibaca.
Tapi, jika anda mengharapkan pembahasan lebih mendalam dari isu-isu
adat dan agama di Bali, mungkin masih harus menunggu karya berikutnya
dari penulis buku ini. Esai-esai Pandora Bali hanya membahas kulit-kulit
dari permasalahan-permasalahan Bali. Tidak ada pembahasan rinci
mengenai konflik adat. Tidak ada penjelasan memadai tentang mengapa I
Lugra sampai harus menanggung kewajiban ngayah di 13 pura, dan mengapa
ia sampai tunduk membabi buta kepada pengurus desanya.
Kurang mendalamnya pembahasan ini menambah kekurangan lain buku ini:
proses penyuntingan yang kurang baik (daftar isi dan nomor halaman yang
tidak tepat, halaman yang tidak tercetak, salah eja istilah asing
“funitive reason” dan “silence majority”).
Setelah membaca buku ini, kita tidak merasa telah belajar sesuatu
yang baru. Mungkin tujuan penulis buku ini memang bukan memberikan
pembahasan yang mendalam. Tidak ada hal yang benar-benar baru yang
dibahas oleh buku ini. Sebagian besar ditulis sebelum tahun 2005 (tidak
ada keterangan tanggal dan tahun penulisan dari setiap esai, hingga
menyulitkan untuk memahami konteks penulisan esai).
Tapi sudah saatnya isu-isu adat, yang telah sering dilempar oleh
penulis-penulis senior seperti Putu Setia dan Aryantha Soetama, dikupas
oleh penulis dan akademisi muda dengan pembahasan lebih menarik dan
mendalam, hingga ditemukan akar permasalahan dan solusinya.
Beberapa solusi menarik untuk mengatasi masalah beban adat sempat
disinggung oleh penulis, antara lain menghilangkan sistem pesuan-pesuan
(semacam iuran wajib) dan diganti dengan iuran sukarela di Desa Pakraman
Penatih (hal. 24). Atau inisiatif di Desa Pakraman Kerambitan yang
menata kembali sistem upacara yadnya menjadi lebih sederhana (hal. 25).
Pembahasan yang lebih terperinci mengenai reformasi di desa pakraman
ini akan sangat menarik untuk menjadi topik pembahasan berikutnya. [b]
Judul : Pandora Bali, Refleksi di Balik Gemerlap Turisme
Penulis : Nyoman Sukma Arida
Penerbit : Pustaka Larasan (www.pustaka-larasan.com)
Tebal : 166 halaman
Cetakan Pertama, Agustus 2012
Penulis : Nyoman Sukma Arida
Penerbit : Pustaka Larasan (www.pustaka-larasan.com)
Tebal : 166 halaman
Cetakan Pertama, Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.