Majapahit memulai dan Belanda melanggengkan sistem kasta.
Saya senang ketika seorang teman, Adi Sudewa,
memberikan buku ini. Teman dari Bali tapi tinggal di Bogor dan bekerja
di Jakarta ini mengirimi saya buku ini. Setelah menunggu sejak sekitar
2003, akhirnya saya bisa mempunyai buku ini juga, Mengurai Benang Kusut Kasta, Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali.
Sekitar tahun 2003 silam, saya dan
beberapa teman diundang ikut diskusi terbatas untuk membahas draf buku
ini bersama penulisnya, Made Kembar Kerepun. Diskusi dengan teman-teman
muda di Bali ini semacam pra-peluncuran buku. Saat itu, untuk pertama
kali saya tahu tentang kesalahpahaman tentang kasta ini meski hanya
sedikit.
Namun, setelah diskusi tersebut, saya tak pernah menemukan buku karya
Kerepun ini. Meski sudah mencari ke beberapa toko, saya tak pernah
menemukannya. Saya hanya memiliki versi draf dalam bentuk print out
serupa skripsi yang masih saya simpan sama sekarang.
Karena itu, saya senang ketika akhirnya saya mendapatkan buku ini.
Saya bisa membaca buku yang membedah tentang kasta di Bali ini.
Majapahitisasi
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta
dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made
Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan
308 halaman buku ini. Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama
dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3)
Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan
(5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.
Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap
masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa
sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.
Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta
itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai
arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum
Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan
bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.
Rudolf Goris, antropolog yang banyak meneliti Bali, seperti dikutip
Kerepun, menyatakan kasta di Bali mulai ada setelah Majapahit menguasai
Bali sejak tahun 1343. Gelar-gelar baru diciptakan khusus untuk Bali
karena tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta adalah sekaligus
Majapahitisasi.
Lucunya, Jawa sendiri justru tak mengenal sistem kasta. Saya sebagai
orang Jawa (Timur) sama sekali tak pernah mendengar tentang kasta ini.
Kalau ningrat sih ada, terutama di Jawa Mataraman, seperti Yogyakarta
dan Solo, tapi itu bukan sistem kasta.
Kerepun memberikan bukti bahwa zaman Bali kuno tak mengenal sistem
kasta. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria.
Tak ada gelar, seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda dan
semacamnya.
Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang kemudian memulai
menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta ini. Ide ini didukung
tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang
Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk
membedakan antara Bali Aga, yang dianggap sebagai orang Bali asli,
dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan
seperti saat ini.
Saya pikir ini benar. Buktinya, beberapa desa Bali Aga, misalnya
Tenganan Pegeringsingan di Karangasem dan Trunyan di Bangli, tidak
mengenal sistem kasta. Struktur adat di dua desa ini egaliter. Tidak ada
Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Menurut Kerepun, Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu
pada India adalah pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Dalam
sistem kasta, seseorang akan terlahir secara otomatis dalam kasta sesuai
ayahnya. Acuannya nama dan keluarga. Adapun Catur Warna merupakan
klasifikasi berdasarkan pekerjaan, bukan darah alias keturunan. Dinamis.
Bisa saja namanya Ida Bagus, yang dianggap sebagai Brahmana, tapi
bekerja sebagai pelayan, yang disebut Sudra. Sebaliknya, seorang dengan
warna Ketut bisa saja jadi pemimpin agama (pemangku).
Istilah wangsa, bahasa lain dari kasta, dan warna sudah tidak cocok
lagi di Bali. Cocoknya adalah soroh, warga, gotra, atau klan. Kalau
soroh ini, antara lain, adalah Pande, Pasek, dan seterusnya.
Sistem kasta ini kemudian diperkuat pada zaman kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah
pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja dihawajibkan
menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti
Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di
Klungkung.
Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam
purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali saat ini. Tujuan pelestarian kasta
ini untuk mempertahankan kuasa oleh kolonial melalui tangan-tangan
penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam
kasta.
Perselisihan
Kebijakan ini memicu perselisihan bertahun-tahun yang bahkan, setahu saya, masih terjadi hingga saat ini. Tak hanya pertentangan diam-diam tapi juga terbuka. Tak hanya terkait isu politik dan budaya tapi juga hingga agama. Kembar Kerepun menjelaskan semuanya dengan bahasa yang, bagi saya, kadang amat sarkas. Terasa benar antipati dia pada sistem kasta.
Kebijakan ini memicu perselisihan bertahun-tahun yang bahkan, setahu saya, masih terjadi hingga saat ini. Tak hanya pertentangan diam-diam tapi juga terbuka. Tak hanya terkait isu politik dan budaya tapi juga hingga agama. Kembar Kerepun menjelaskan semuanya dengan bahasa yang, bagi saya, kadang amat sarkas. Terasa benar antipati dia pada sistem kasta.
Perselisihan ini selalu disebut terjadi antara Triwangsa (terdiri
dari Brahmana, Ksatria, dan Waisya) dengan Jaba (Sudra). Salah satu
contoh perselisihan yang sering sekali saya baca di buku ataupun artikel
tentang Bali adalah antara majalah Bali Adnyana, dikelola Triwangsa, dengan Suryakanta, milik kaum Sudra.
Suryakanta, mewakili kelompok progresif. Melalui media ini para
kelompok intelektual Jaba berpendapat Kasta tak perlu dipertahankan.
Sebaliknya, Bali Adnyana justru mendukung tetap diberlakukannya sistem
kasta sebagai bagian dari pelestarian budaya Bali.
Namun, perselisihan itu terlihat elegan. Mereka saling “menyerang”
ide lewat media masing-masing. Setidaknya itu, sih, yang saya lihat.
Dengan begitu, diskusi intelektual berkembang. Tak seperti di Bali saat
ini yang agak susah mencari tandingan dari wacana arus utama. Tak banyak
media yang bisa mewakili suara-suara kritis terhadap Bali saat ini.
Perlawanan terhadap sistem kasta, hampir semuanya dilakukan Jaba.
Sumber perlawanan ini karena tidak adilnya sistem kasta bagi mereka.
Contohnya, pemerintah kolonial Belanda amat memanjakan Triwangsa dalam
hal jabatan ataupun pendidikan.
Anak-anak Jaba tak boleh menempuh pendidikan di sekolah milik
Belanda. Akibatnya, anak-anak Jaba ini lebih banyak sekolah di Jawa
sehingga berpikir lebih terbuka dan progresif.
Tak cuma di bidang pendidikan, perlawanan ini juga terjadi lewat
agama. Buku ini menulis beberapa contoh. Dua di antaranya terjadi di
Mengwi dan Gianyar. Di dua tempat ini, warga klan Pande melawan kalangan
Brahmana yang melarang mereka melakukan upacara tanpa dipimpin pihak
Brahmana. Selama 17 tahun melawan, dari 1911 hingga 1928, akhirnya warga
Pande diperbolehkan melaksanakan upacara dipimpin seorang empu, bukan
pedanda.
Gusti Pones
Namun, perselisihan ini kadang terjadi juga dalam diri seseorang. Ada yang menaikkan kasta dengan cara membayar karena ingin memperoleh status sosial dan adat lebih tinggi. Mereka lalu mengajukan ke Lembaga Peradilan Hindu agar dinaikkan statusnya.
Namun, perselisihan ini kadang terjadi juga dalam diri seseorang. Ada yang menaikkan kasta dengan cara membayar karena ingin memperoleh status sosial dan adat lebih tinggi. Mereka lalu mengajukan ke Lembaga Peradilan Hindu agar dinaikkan statusnya.
Pada tahun 1910, misalnya, ada 150 warga Jaba yang mengajukan diri
agar kastanya naik jadi Gusti, salah satu klan dalam Triwangsa. Dari 150
pemohon, 70 di antaranya dikabulkan untuk naik kasta jadi Triwangsa
dengan embel-embel gelar Gusti. Mereka dikenal sebagai Gusti Pones
karena dia hadiah dari sidang.
Sebaliknya ada pula orang yang justru menurunkan kastanya sendiri
karena merasa kasta yang dia miliki sebelumnya justru mengekang. Buku
ini mengutip artikel Majalah SARAD tentang warga Gusti yang nyineb
wangsa, bahasa lain dari kasta.
Majalah ini menulis tentang penurunan kasta secara sukarela oleh I
Gusti Ketut Ngurah, 80 tahun, dari Sidemen, Karangasem. Dia mengubah
nama jadi I Ketut Ngurah karena mengaku tak bisa melakukan upacara
mesakapan saat menikah sesuai standar kastanya. Dia mengaku hidup
pas-pasan sehingga kadang-kadang harus makan pemberian orang lain. Maka,
dia pun menurunkan kasta biar bebas makan paridan atau lungsuran, sisa
makan orang lain.
Setelah membahas berbagai kesalahpahaman dan perselisihan akibat
kasta, Kerepun yang juga mantan anggota DPRD Gianyar ini lalu menulis
tentang bagaimana kesalahpahaman itu dilestarikan. Menurut Kerepun,
kesalahpahaman tentang kasta ini sengaja dipelihara sejak zaman bahuela
hingga saat ini.
Pada aturan zaman kolonial, para raja membuat aturan-aturan yang,
kalau dilihat sekarang akan terlihat konyol. Strategi pengajegan
tersebut antara lain melalui enam larangan, yaitu amada-mada ratu,
asisia-sisia, anjuran masor singgih, ketaatan dan ketakutan pada paham
ajewara, ketakutan pada paham raja dewa, dan takut karena manipulasi
titah Dewata. Istilah-istilah ini sesuatu yang saya juga baru tahu.
Tapi, aturan konyol itu, misalnya Jaba biasa tak boleh meniru-niru (amada-mada)
raja atau ratu. Contohnya, warga Jaba tak boleh mempergunakan batu bata
merah untuk membangun rumah. Warga jaba juga tak boleh mempunyai anak
kembar buncing, kembar berbeda jenis kelamin. Inilah asal mula kenapa
orang dengan anak kembar buncing itu disepekang atau dikucilkan secara
adat di sebagian desa.
Sebagian lontar pun, menurut Kerepun, memuat aturan yang memihak pada
mereka yang berkasta. Hal itu terjadi akibat kesalahpahaman terhadap
ajaran agama tersebut. Saya tidak terlalu paham dengan lontar dan
istilah-istilah dalam Hindu. Buku ini mengutip banyak ayat dalam ajaran
Hindu yang menyatakan bahwa tidak ada istilah kasta. Sekali lagi, saya
yang non-Bali dan non-Hindu tak terlalu paham persoalan ini.
Emosional
Terlalu banyaknya istilah Bali kuno atau Hindu ini memang jadi salah satu kelemahan buku karya Kerepun ini. Banyak istilah Bali yang tak mudah dipahami “outsider” semacam saya di dalam buku ini. Istilah-istilah ini terbaca amat janggal. Mungkin karena diambil dari lontar-lontar kuno yang bisa jadi juga susah dipahami anak-anak muda sekarang.
Terlalu banyaknya istilah Bali kuno atau Hindu ini memang jadi salah satu kelemahan buku karya Kerepun ini. Banyak istilah Bali yang tak mudah dipahami “outsider” semacam saya di dalam buku ini. Istilah-istilah ini terbaca amat janggal. Mungkin karena diambil dari lontar-lontar kuno yang bisa jadi juga susah dipahami anak-anak muda sekarang.
Kelemahan kedua, alur buku ini juga bolak-balik. Kurang mengalir.
Contohnya tentang cara Belanda melestarikan sistem kasta. Setelah
dibahas sekilas di bab-bab awal, tema ini dibahas lagi di bagian
belakang. Saya merasakan loncatan balik ketika membaca ini.
Kelemahan paling penting, buku ini ditulis amat emosional. Tidak
berimbang sama sekali. Sangat terasa bagaimana antipati Kerepun yang
sudah almarhum ini terhadap isu kasta. Saya tak mengetahui dengan pasti
apakah memang almarhum pernah memiliki masalah secara personal terkait
kasta ini. Namun, dari nama istrinya, Anak Agung Ngurah Mayun, bisa jadi
Kerepun pernah mengalami persoalan pribadi dengan sistem kasta ini.
Saya hanya menduga-duga.
Selain berisi pendapat kritis dan bahkan sinis, buku ini juga
menyampaikan fakta menarik tentang Bali sejak zaman pra-Majapahit maupun
zaman kolonial. Banyak hal yang saya juga baru tahu dari buku ini.
Misalnya bahwa pada tahun 1920-an, sensus penduduk Bali pun dilakukan
dengan menghitung jumlah penduduk berdasarkan kasta.
Hasilnya, pada saat itu jumlah penduduk Bali sekitar 917.000.
Komposisi kasta warganya adalah Brahmana 9.850 orang (1 persen), Ksatria
25.260 orang (2,7 persen), Wesia 23.450 orang (2,5 persen), dan
selebihnya adalah Sudra (sekitar 94 persen).
Dengan banyak fakta dan opini tentang kasta tersebut, buku ini harus
dibaca mereka yang ingin belajar tentang sistem kasta dari kacamata
kritis, atau bahkan sinis. Melalui buku ini almarhum Made Kembar Kerepun
telah memberikan pandangan alternatif tentang isu kasta. Dia berani
membongkar pikiran bahwa sistem kasta itu sesuatu yang perlu
dilestarikan. Kasta sudah tak sesuai dengan zaman.
2 komentar:
Maksudnya mungkin pada masa kedatangan pendeta jawa di zaman Majapahit akhir, yaitu zaman Dalem Waturenggong pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit di jawa.
Di desa desa pakraman ada kebijakan yang dikenal dengan istilah "asah basa" , yaitu sebuah aturan yang mengharuskan seseorang untuk melepas segala bentuk embel embel kasta dan mau berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan warga lainnya sebagai syarat untuk dapat diterima sebagai bagian dari suatu desa untuk kemudian tinggal dan menetap di wilayah desa pekraman tersebut.
asah = sama rata/tidak ada tinggi rendah/datar
basa = bahasa/penyebutan.
Akan tetapi belakangan kebijakan ini kurang diperhatikan/ tidak diterapkan lagi secara kaku, alasannya banyak yang beranggapan bahwa dengan majunya tingkat pendidikan dimasyarakat, maka telah tumbuh pemahaman dan pengertian bagi seluruh masyarakat sistem kasta sudah tidak relevan lagi diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern, sehingga dengan sendirinya sistem itu tidak layak dipermasalahkan lagi.
Uniknya, disaat orang orang non kasta menganggap kasta sebagai "barang museum", sebagian masyarakat justru berusaha untuk tetap membangkitkan dan melanggengkan sistem ini di masyarakat.
Sekedar pendapat dari saya yang awam, usaha usaha melestarikan kasta, sesungguhnya bukan sekedar masalah sepele, tapi ada sesuatu yang serius yang tidak boleh diremehkan begitu saja :
1. Bagi masyarakat Hindu Bali : Penyimpangan sistem warna menjadi kasta, menjadi bukti kuat telah terjadi penyimpangan ajaran agamanya.
2. Bagi masyarakat Indonesia : kemerdekaan indonesia yang diperjuangkan dengan susah payah dengan darah dan air mata menjadi ternodai. Mengingat sistem kasta adalah bagian atau sebagian adalah produk kolonial belanda, melanggengkannya, bukankah berarti berusaha melanggengkan cengkeraman pengaruh kolonialisme ?
izin saya cancel sedikit.
jika kasta dibuat waktu saat jaman belanda . tanggapan saya benar, tapi juga kurang tepat
kasta yang dibuat oleh jaman belanda, adalah kasta dari pangeran bukan pemegang kekuasaan yang ditujukan untuk merebut posisi Raja, membuat polemik perang saudara,
makanya banyak sekali anak agung, gusti agung, dewa agung yang notabene kalau di daerah klungkung, gelar seperti Agung tidak boleh dipakai, dan hanya boleh dipakai oleh pemegang kekuasaan / raja saja..
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.