Oleh :Agus Aris Munandar
(Sambungan WHD No. 515)
Dalam hal wujud bangunan candi sendiri, jika diamati secara cermat akan terlihat adanya pembagian tataran manusia dan tataran dewata. Bagian bhurloka yang dipresentasikan di kaki bangunan akan diungkapkan dalam bentuk kaki candi yang umumnya polos tanpa hiasan relief. Apabila terdapat hiasan, maka yang ada adalah susunan perbingkaian saja. Pada beberapa candi memang terdapat relief cerita yang temanya sesuai dengan upaya manusia untuk bertemu dengan dewata. Hal ini akan diperbincangkan dalam pemaparan selanjutnya dalam kajian ini.
Beberapa candi zaman Singhasari - Majapahit yang berkaki candi polos tanpa hiasan relief cerita (kecuali relief hias) dan hanya dilengkapi dengan panil kosong atau susunan perbingkaian saja adalah candi:
1. Sawentara di Blitar
2. Sanggrahan di Tulungagung
3. Kali Cilik di Blitar
4. Bangkal di Blitar
5. Jabung di probolinggo
6. Kesiman Tengah di Mojokerto
7. Candi pan di Sidoarjo
8. Candi Gunung Gansir di Pasuruan
Hal yang menarik terdapat di Candi Singhasari (Malang) yaitu bagian yang terlihat seperti kaki candi dengan deretan panil-panil relief kosong di bagian paling bawah bangunan bangunan ini adalah lapik (alas) dan kaki candi. Lapik tersebut bersama-sama kaki candi melambangkan juga dunia manusia (bhurloka) karena terletak di segmen bawah dari bangunan candi. Adapun candi yang bagian kakinya dihias dengan perbingkaian dan relief cerita antara lain adalah candi:
1. Jawi di Pasuruan
2. Jago di Malang
3. Ngrimbi di wilayah Jombang
4. Miri gambar di Tulungagung
5. Kedaton di pedalaman selatan Probolinggo.
Candi Tegawangi dan candi Surawan yang ada sekarang, hanya menyisakan batur tinggi dan dapat dianggap sebagai bagian kaki candi, namun dapat pula dipandang sebagai tubuh candi. Hal itu terjadi karena batas antara kaki candi dan tubuhnya pada kedua bangunan kuno itu agak sukar untuk diidentifikasikan.
Candi-candi yang bahan tubuhnya terbuat dan bata atau batu akan membentuk bilik candi. pada bagian tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka terdapat relung-relung tempat menempatkan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca utamanya. namun hampir semua candi masa Singhasari dan Majapahit, arca-arca pengisi relung dan juga arca utamanya telah hilang. Candi Sawentar semua arcanya telah tiada, tetapi di biliknya terdapat alas arca yang bagian sisi depannya dihias dengan pahatan burung Garuda. Di Candi Kidal konon dulu terdapat arca Siwa mahadewa yang tingginya 1,23 m. Arca ini sangat mungkin merupakan perwujudan Anusapati yang sesuai dengan istadewatanya, yaitu sebagai Siwa mahadewa. Arca Siwa dan Candi Kidal sekarang disimpan di Royal Tropical Institute, Amsterdam (Kempers, 1959; 73- 74 plate 216-217).
Di Candi Jawi, semua relung di tubuh bangunan telah kosong, tetapi di biliknya terdapat yoni. Begitupun di Candi Kali Cilik, Bangkal dan Jabung semua relung dan bilik candinya telah kosong tidak berisikan arca apapun. Sementara itu, di puncak Candi Tegawangi, Surawana dan Sanggrahan tidak ditemukan arca lain. Akan tetapi, di puncak Candi Tegawangi hingga sekarang masih terdapat yoni yang ceratnya dibentuk naturalis.
Maka, dapat dikemukakan bahwa tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka ditandai dengan wujud arca-arca itu sekarang telah hilang. Arca-arca dewa melambangkan makhluk suci yang sebenarnya telah lepas dari segala nafsu dunia, namun kadang-kadang dapat tampil di hadapan para pemujanya, sifatnya sakala-niskala (antara ada dan tiada). Pada waktu diadakan upacara persembahyangan di candi arca dewa-dewa tersebut dianggap keramat. Dewa-dewa hadir di tubuh arca waktu itu. Jadi sifatnya sakala, tetapi apabila selesai upacara arca-arca itu menjadi hampa. Prana dewa kembali ke alamnya yang niskala.
Bagian swarloka pada bangunan candi dilambangkan pada bentuk atap tunggal batu/bata atau atap dari bahan mudah lapuk yang bentuknya bertingkat-tingkat. Bangunan candi masa Singhasari mempunyai bentuk atap yang meninggi ke puncak, lazim dinamakan dengan atap prasadha (menara). Ada pula candi yang didirikan dalam zaman majapahit yang juga mempunyai atap prasadha. Candi masa Singhasari dengan atap menjulang seperti menara yang masih ada, yaitu Candi Sawetar, Kidal dan Jawi. Adapun candi masa Majapahit yang dulu beratap prasadha adalah Candi Angka Tahun Panataran, Ngetos, kali Cilik dan Bangkal.
Atap berbentuk demikian sebenarnya terdiri dari beberapa tingkatan, namun berangsur-angsur mengecil hingga puncaknya yang dimahkotai dengan bentuk kubus. Simbol-simbol dunia swarloka dapat terlihat pada bentuknya yang menjulang tinggi ke langit, seakan-akan merupakan tangga menuju Suralaya. Selain itu, di bagian langit-langit atap terdapat batu sungkup yang pada sisi bawahnya (bagian yang dapat dilihat dan ruang bilik candi jika seseorang menengadah ke atas) tedapat bentuk lingkaran dengan bentuk garis-garis di sekitarnya, atau lingkaran tersebut merupakan bentuk tengah dan bunga padma mekar yang di sekitarnya terdapat kelopak-kelopak daun bunganya. Pada beberapa candi seperti di candi Sawetar dan Bangkal di tengah lingkaran yang digambarkan bersinar tersebut terdapat relief seorang ksatrya menaiki kuda membawa pedang Hal ini menandakan pastinya simbol konsepsi keagamaan tertentu.
Hal yang sungguh menarik perhatian adalah pada bagian atap tersebut terdapat ruang kosong yang bagian dasamya adalah bath sungkup. Dengan demikian, batu sungkup tersebut menjelma menjadi pembatas antara ruang bilik candi dan ruang di atap candi. Menurut R. Soekmono dalam disertasinya Candi Fungsi dan pengertiannya (1974) dinyatakan “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rongga dalam tiap candi itu adalah ruangan yang sengaja disediakan bagi Sang Dewa, yaitu sebgai tern pat bersemayamnya pada saat-saat sebelum ia merasuk menjiwai arca perwujudan yang bertakhta di bawahnya” (1974:31).[WHD No.517 Januari 2010].
(BERSAMBUNG)
(Sambungan WHD No. 515)
Dalam hal wujud bangunan candi sendiri, jika diamati secara cermat akan terlihat adanya pembagian tataran manusia dan tataran dewata. Bagian bhurloka yang dipresentasikan di kaki bangunan akan diungkapkan dalam bentuk kaki candi yang umumnya polos tanpa hiasan relief. Apabila terdapat hiasan, maka yang ada adalah susunan perbingkaian saja. Pada beberapa candi memang terdapat relief cerita yang temanya sesuai dengan upaya manusia untuk bertemu dengan dewata. Hal ini akan diperbincangkan dalam pemaparan selanjutnya dalam kajian ini.
Beberapa candi zaman Singhasari - Majapahit yang berkaki candi polos tanpa hiasan relief cerita (kecuali relief hias) dan hanya dilengkapi dengan panil kosong atau susunan perbingkaian saja adalah candi:
1. Sawentara di Blitar
2. Sanggrahan di Tulungagung
3. Kali Cilik di Blitar
4. Bangkal di Blitar
5. Jabung di probolinggo
6. Kesiman Tengah di Mojokerto
7. Candi pan di Sidoarjo
8. Candi Gunung Gansir di Pasuruan
Hal yang menarik terdapat di Candi Singhasari (Malang) yaitu bagian yang terlihat seperti kaki candi dengan deretan panil-panil relief kosong di bagian paling bawah bangunan bangunan ini adalah lapik (alas) dan kaki candi. Lapik tersebut bersama-sama kaki candi melambangkan juga dunia manusia (bhurloka) karena terletak di segmen bawah dari bangunan candi. Adapun candi yang bagian kakinya dihias dengan perbingkaian dan relief cerita antara lain adalah candi:
1. Jawi di Pasuruan
2. Jago di Malang
3. Ngrimbi di wilayah Jombang
4. Miri gambar di Tulungagung
5. Kedaton di pedalaman selatan Probolinggo.
Candi Tegawangi dan candi Surawan yang ada sekarang, hanya menyisakan batur tinggi dan dapat dianggap sebagai bagian kaki candi, namun dapat pula dipandang sebagai tubuh candi. Hal itu terjadi karena batas antara kaki candi dan tubuhnya pada kedua bangunan kuno itu agak sukar untuk diidentifikasikan.
Candi-candi yang bahan tubuhnya terbuat dan bata atau batu akan membentuk bilik candi. pada bagian tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka terdapat relung-relung tempat menempatkan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca, selain bilik candinya untuk menyimpan arca utamanya. namun hampir semua candi masa Singhasari dan Majapahit, arca-arca pengisi relung dan juga arca utamanya telah hilang. Candi Sawentar semua arcanya telah tiada, tetapi di biliknya terdapat alas arca yang bagian sisi depannya dihias dengan pahatan burung Garuda. Di Candi Kidal konon dulu terdapat arca Siwa mahadewa yang tingginya 1,23 m. Arca ini sangat mungkin merupakan perwujudan Anusapati yang sesuai dengan istadewatanya, yaitu sebagai Siwa mahadewa. Arca Siwa dan Candi Kidal sekarang disimpan di Royal Tropical Institute, Amsterdam (Kempers, 1959; 73- 74 plate 216-217).
Di Candi Jawi, semua relung di tubuh bangunan telah kosong, tetapi di biliknya terdapat yoni. Begitupun di Candi Kali Cilik, Bangkal dan Jabung semua relung dan bilik candinya telah kosong tidak berisikan arca apapun. Sementara itu, di puncak Candi Tegawangi, Surawana dan Sanggrahan tidak ditemukan arca lain. Akan tetapi, di puncak Candi Tegawangi hingga sekarang masih terdapat yoni yang ceratnya dibentuk naturalis.
Maka, dapat dikemukakan bahwa tubuh candi yang melambangkan dunia bhuwarloka ditandai dengan wujud arca-arca itu sekarang telah hilang. Arca-arca dewa melambangkan makhluk suci yang sebenarnya telah lepas dari segala nafsu dunia, namun kadang-kadang dapat tampil di hadapan para pemujanya, sifatnya sakala-niskala (antara ada dan tiada). Pada waktu diadakan upacara persembahyangan di candi arca dewa-dewa tersebut dianggap keramat. Dewa-dewa hadir di tubuh arca waktu itu. Jadi sifatnya sakala, tetapi apabila selesai upacara arca-arca itu menjadi hampa. Prana dewa kembali ke alamnya yang niskala.
Bagian swarloka pada bangunan candi dilambangkan pada bentuk atap tunggal batu/bata atau atap dari bahan mudah lapuk yang bentuknya bertingkat-tingkat. Bangunan candi masa Singhasari mempunyai bentuk atap yang meninggi ke puncak, lazim dinamakan dengan atap prasadha (menara). Ada pula candi yang didirikan dalam zaman majapahit yang juga mempunyai atap prasadha. Candi masa Singhasari dengan atap menjulang seperti menara yang masih ada, yaitu Candi Sawetar, Kidal dan Jawi. Adapun candi masa Majapahit yang dulu beratap prasadha adalah Candi Angka Tahun Panataran, Ngetos, kali Cilik dan Bangkal.
Atap berbentuk demikian sebenarnya terdiri dari beberapa tingkatan, namun berangsur-angsur mengecil hingga puncaknya yang dimahkotai dengan bentuk kubus. Simbol-simbol dunia swarloka dapat terlihat pada bentuknya yang menjulang tinggi ke langit, seakan-akan merupakan tangga menuju Suralaya. Selain itu, di bagian langit-langit atap terdapat batu sungkup yang pada sisi bawahnya (bagian yang dapat dilihat dan ruang bilik candi jika seseorang menengadah ke atas) tedapat bentuk lingkaran dengan bentuk garis-garis di sekitarnya, atau lingkaran tersebut merupakan bentuk tengah dan bunga padma mekar yang di sekitarnya terdapat kelopak-kelopak daun bunganya. Pada beberapa candi seperti di candi Sawetar dan Bangkal di tengah lingkaran yang digambarkan bersinar tersebut terdapat relief seorang ksatrya menaiki kuda membawa pedang Hal ini menandakan pastinya simbol konsepsi keagamaan tertentu.
Hal yang sungguh menarik perhatian adalah pada bagian atap tersebut terdapat ruang kosong yang bagian dasamya adalah bath sungkup. Dengan demikian, batu sungkup tersebut menjelma menjadi pembatas antara ruang bilik candi dan ruang di atap candi. Menurut R. Soekmono dalam disertasinya Candi Fungsi dan pengertiannya (1974) dinyatakan “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rongga dalam tiap candi itu adalah ruangan yang sengaja disediakan bagi Sang Dewa, yaitu sebgai tern pat bersemayamnya pada saat-saat sebelum ia merasuk menjiwai arca perwujudan yang bertakhta di bawahnya” (1974:31).[WHD No.517 Januari 2010].
(BERSAMBUNG)
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.