Puluhan perempuan tua menari nonstop selama dua jam.
Mereka mengelilingi pura besar yang menjadi sejarah resolusi konflik
sectarian di Pulau Dewata. Mereka menyebarkan vibrasi kebersamaan karena
tiap gerakan dilakukan secara perlahan dan langkah kaki yang seragam.
Aura mereka menyebar di Pura Samuantiga
yang ramai dengan ribuan warga dan turis pekan lalu. Ritual Siat Sampian
dan Nampyog menjadi tari wali yang ditunggu-tunggu di pura yang
berlokasi di Bedulu, Gianyar, ini.
Sekitar 40 orang perempuan bekebaya putih, kain hitam dan selendang
putih jadi salah satu pusat perhatian. Mereka memulai ritual penyucian
dengan puja di pagi hari bersama sejumlah pemangku pria. Persembahyangan
dilakukan di enam titik. Mulai dari Pura Beji, Pura Anyar, Pura Duwur
Delod (Ratu Agung Sakti), Pura Agung Panji, Paruman Agung, dan Pura
Batan Manggis.
Beberapa saat kemudian, penari yang berusia rata-rata di atas 50
tahun disebut Permas ini menari mengitari areal pura. Proses mengitari
pura ini sebanyak 18 kali. Semua dibagi menjadi lima babak dengan
gerakan berbeda.
Pertama enam kali berkeliling menari dengan gerakan tangan dan kaki
atraktif. Selanjutnya tiga kali berkeliling bersama dengan pra pemangku
sambil membunyikan gentanya. Tak berhenti di sana, Premas ini
dilanjutkan tiga kali berkeliling dengan saling memegang selendang.
Pada babak berikutnya, baru sekitar 200 pria tua muda bergabung membuat tarian seperti ombak.
Mereka berpegangan tangan satu sama lain sehingga seluruh areal pura
dikelilingi bariasan ombak. Dia seperti gelombang yang akan menyisir
sisa amarah dan kemudian menyejukkan pikiran. Tiap tugu pura harus
tersentuh ombak ini. Caranya dengan menyentuhkan kaki dari seluruh
penari.
Setelah itu dua kelompok Premas dan Parekan (penari lelaki)
memisahkan diri dan bersembahyang di sejumlah tempat untuk memulai Siat
Sampian. Giliran pertama adalah siat sampian untuk premas. Mereka
mengambil sampian, rangkaian janur yang dipakai sebelumnya dalam sesajen
bungsil untuk upacara di pura ini, lalu berteriak dengan histeris
sambil mengangkat sampian. Terlihat seperti saling memukulkan sampian
(siat) namun tak ada yang marah. Hanya keriangan.
Demikian juga ketika giliran kelompok penari lelaki atau Parekan
melakukan siat sampian. Kelompok parekan menarikan dengan suara gemuruh
karena jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Premas.
“Siat sampian adalah gambaran dari resolusi konflik warga. Masalah
terus muncul tapi harus dicari solusinya dengan rasa kebersamaan. Itu
yang diwarisi Samuantiga,” ujar I Wayan Patera, ketua panitia upakara
ini.
Penari Premas dan Parekan ini tak akan berkurang jumlahnya walau tak
ada penunjukkan. Penari lama akan meneruskan ke anak, cucu, dan kerabat
lain. Begitu seterusnya.
“Menari di Samuantiga adalah kebanggaan dan kewajiban buat saya
secara turun temurun. Kakek saya sembuh setelah kami minta kesembuhan di
sini,” ujar Mendra, salah satu parekan.
Tulisan ini juga dimuat The Jakarta Post.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.