Kamis, 06 September 2012

Bali Kini, Sembahyang pun dalam teror

Pura-pura besar di Bali hanya bagi mereka yang sehat dan kuat saja. Foto Anton Muhajir.
Haruskah suatu saat nanti orang-orang Bali tidak ubahnya monyet-monyet di Pulaki?
Methirta Yatra atau mengunjungi tempat-tempat suci untuk sembahyang sambil menapaki kesadaran sebagai mahluk ciptaan-Nya, Minggu 8 Mei lalu terasa begitu spesial. Bukan karena mendapat anugrah berupa benda ataupun pawisik tetapi karena tirta yatra kali ini menemani para lansia di lingkungan Banjar saya.
Mereka ini adalah kelompok lansia yang aktif mengikuti senam lansia dan juga latihan yoga plus meditasi. Kegiatan ini rutin dua kali dalam seminggu. Setiap Kamis sore dan Minggu sore. Tempatnya di balai Banjar Tengah Sesetan, Denpasar. Tidak semua lansia ikut. Paling tidak ada 35 lansia rajin hadir dari 90-an yang terdaftar. Saya kebetulan ikut menjadi pendamping untuk kegiatan senam yoga dan meditasinya.
Menurut saya, kegiatan olah raga dua kali seminggu itu ternyata memberikan dampak sangat bagus. Setidak-tidaknya pada tirta yatra kali ini.
Kami berangkat dengan menggunakan dua bus pariwisata. Selain lansia, beberapa anggota PKK dan sekehe santi juga ikut serta. Tentunya mereka ini masih jauh lebih muda dan sehat dibanding para lansia.
Hasil akhirnya, dalam perjalanan selama 15 jam itu, dari lima orang yang muntah, tidak ada satu pun lansia. Semuanya lansia justru tetap bugar dan bisa tersenyum ketika sampai kembali di banjar tenagh pukul 21.35 Wita.
Minggu pagi itu, hujan dengan guntur sepertinya menguji semangat para lansia untuk berangkat tirta yatra. Syukur hujan tidak terlalu lama. Pukul 7.30 Wita saya lihat semua lansia sudah berkumpul di balai banjar. Lengkap dengan tas bekalnya masing-masing.
Kepala lingkungan yang bertindak sebagai penanggung jawab kegiatan hanya menyediakan trasportasi.
Teror Tangga
Kali ini jalur yang dipilih adalah arah barat, journey to the west. Target pertama, pura Rambut Siwi di sisi timur kota Negara, Jembrana, sekitar 2 jam dari Denpasar. Pura ini populer karena merupakan salah satu dari enam pura utama di Bali.
Selain itu, pura ini juga tempat persinggahan bagi para pengendara Hindu yang akan menuju tanah Jawa ataupun datang dari tanah Jawa. Berhenti sejenak memohon keselamatan dan tak jarang melepas penat sambil menambah perbekalan.
Karena menggunakan bus, rombongan harus masuk dari areal parkir terbawah. Para lansia yang melihat tingginya tangga menuju pura sempat menarik nafas panjang. Maklum, beberapa ada yang memiliki riwayat sesak nafas dan beberapa lainnya memiliki masalah pada kaki-kaki yang mulai renta.
Sing pegat angkihan we, menek?” atau “ Nyidang batis we ked meduur?” itulah pertanyaan mereka. Maksudnya, tidak putus nanti nafasnya? Juga, bisa tidak kaki dipakai naik.
Saya hanya bisa bilang, “Adeng-adeng gen menek we. Yen kenyel nak dadi negak!”. Artinya, hati-hati saja. Kalau capek boleh berhenti.
Rupanya, pura-pura besar di Bali hanya bagi mereka yang sehat dan kuat saja. Pikiran saya mengingat tangga Pura Besakih, Lempuyang dan Uluwatu. Melihat kaki-kaki renta yang telah menopang tubuh lebih dari 65-70 tahun, dalam pola kehidupan yang tidak sehat, jelas terlihat tangga-tangga dari batu hitam yang mahal dan mewah merupakan teror bagi mata-mata yang mulai rabun itu.
Syukurlah semua rombongan bisa memasuki areal pura. Meskipun dua tiga lansia harus dipapah. Dan hal pertama yang mereka lakukan ketika sampai di depan pura adalah mencari tempat duduk teduh. Kami sampai di sini pukul 11.30 untuk melepas lelah dan mengatur napas.
Selesai bersembahyang, saatnya tantangan baru menunggu. Menuruni tangga. Bagiku tentu bukan masalah, tetapi bagi para lansia ini, menuruni tangga adalah masalah. Sama susahnya dengan naik. Kakinya harus turun, menapaki satu anak tangga ke anak tangga yang berikutnya, perlu perjuangan.  Menahan agar badannya tidak meluncur ke bawah. Saling berpegangan menjadi solusinya.
Rombongan menikmati makan siang, dari bekal masing-masing, di areal parkir. Lumayan untuk melepas lelah. Ada rasa bangga dan syukur ketika melihat wajah-wajah tua, tersenyum dalam canda mereka. Ah, semoga Hyang Khalik memberi saya waktu sepanjang mereka. Tentunya dengan tubuh yang lebih sehat. :)
Demo Mahasiswa
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan menuju kuburan Jaya Prana, di daerah Teluk Terima di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), sekitar 3,5 jam dari Denpasar. Tempat ini populer karena legenda Jaya Prana yang hidup di tengah-tengah masyarakat Bali.
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai perjalanannya. Maklum, perut kenyang dan saat-saat mata ngantuk. Saya terbangun lima menit sebelum lokasi. Lebih dari satu jam rupanya aku tertidur.
Segerombolan monyet terlihat menatap rombongan ketika kami berkumpul di depan jalan masuk menuju tempat sembahyang. Menurut informasi dari salah satu petugas, jarak makam Jaya Prana dari sisi jalan itu sekitar 400 meter.
Saya pun bertanya-tanya. Akankah para lansia, kakek nenek dan bibi saya bisa sampai? Beberapa dari mereka berinisiatif mencari dahan kayu untuk tongkat, penyangga dalam perjalanan. Dan beberapa lansia sempat harus duduk menarik nafas di tengah perjalanan. Akhirnya semua bisa sampai dan bersembahyang di makam Jaya Prana.
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju Pura Pemuteran di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Lokasi pura ini sangat nyaman bagi para lansia. Parkir yang sangat dekat dan pancuran air hangat untuk membasuh muka, kaki dan tangan di areal pura membuat para peserta merasa lebih segar dan tidak terlalu menguras tenaga mereka. Jalan dan tangga tidak menjadi terror!
Oya, jarak dari makam Jaya Prana ke pura Pemutaran ini tidak terlalu jauh, kurang dari 20 menit berkendaraan.
Dari Pemuteran perjalanan dilanjutkan menuju pura Pulaki. Di daerah Pulaki, Buleleng. Tidak terlalu jauh dari Pemuteran, sekitar 10 menit berkendaraan. Baru turun dari bus, rombongan sudah disambut monyet-monyet mendekat.
Kami semua sudah diingatkan sebelumnya untuk berhati-hati di Pulaki. Barang-barang lebih banyak kami biarkan di dalam bus. Monyet-monyet di sini terkenal dengan gerakannya yang cepat dalam mengambil barang yang di bawa pengunjung.
Saya tidak berani mengeluarkan kamera melihat tatapan-tatapan monyet-monyet yang seperti mengincar. Salah satu peserta rombongan pendamping dari PKK banjar yang membawa Mie Gelas terdiam ketika seekor monyet besar mengambil gelasnya. Tidak ada perlawanan sama sekali. Mirip kalau kita dipalak preman sangar.
Awas lho, kalau teriak! Mungkin begitulah arti tatapan mata si monyet sambil memerlihatkan gigi-giginya.
Akhirnya semua rombongan tiba di areal dalam pura untuk bersembahyang. Saya tersenyum saja ketika melihat tempat menghaturkan banten dikelilingi jala dari kawat. Mirip kerangkeng. Dengan ranta-rantai dan gemboknya. Saya tidak ingat betul kapan tempat banten ada kerangkengnya itu dibuat. Maklum sudah lebih dari 20 tahun tidak pernah bersembahyang di pura ini. Paling hanya lewat ataupun kalau mampir tidak pernah ikut bersembahyang. Lebih senang melihat orang-orang yang terkaget-kaget ketika diloncati monyet.
Ketika rombongan sudah menaruh banten di “kerangkeng” dan duduk untuk mulai persembahyangan, baru saya sadar kalau rombongan ini dikawal beberapa pengayah pura yang membawa kayu. Ya, mirip para polisi mengamankan demo mahasiswa. Hanya saja bukan rombongan kami yang menjadi obyek pengamanan itu. Para monyetlah yang dijaga agar tidak mengganggu kami. Wuih terasa jadi pejabat saja!!!
Monyet-monyet itu cukup cerdas juga. Mungkin benar karena masih satu jalur dengan kita kali ya. Mereka mengawasi para penjaga, menunggu mereka lengah dan bergerak mendekati kami. Alhasil, saat melakukan panca sembah, mata saya tidak bisa terpejam lama. Sebentar-sebentar saya melirik monyet di depan, di atas dan di samping. Mungkin sebagian besar rombongan seperti saya.
Dan benar saja. Begitu selesai panca sembah terakhir, seekor monyet besar sudah berada di tengah-tengah rombongan. Berjalan pelan melihat apa yang bisa diambil. Para penjaga kecolongan! Dan kami pun cukup ketakutan!
Syukur si monyet besar ini mau pergi setelah diancung-ancungkan kayu oleh para pengayah pura. Hanya canang dan kewangen dari salah satu lansia yang diambilnya.
Saya sempat merasa, inilah persembahyangan yang penuh dengan teror. Dari baru masuk, saat sembahyang hingga keluar selalu ada mata-mata yang mengawasi. Lengah sedikit barang bawaan akan berpindah tangan. Jadi teringat dengan Pasar Ular di Jakarta Utara dahulu.
Nakalnya monyet-monyet di Pulaki sudah terkenal. Kenakalan mereka tentunya ada penyebab. Salah satunya adalah berkurangnya buah-buahan di dalam hutan sehingga mereka memilih mencari makan di areal pura. Tidak adanya makanan yang memadai telah membuat monyet-monyet ini biasa melakukan barter dengan cara mengambil barang pengunjung atau orang yang bersembahyang untuk ditukar dengan pisang, buah atau kacang.
Belajar Menjambret
Kami melanjutkan persembahyangan menuju Pura Pasar Agung, Pura Melanting dan Pura Kertha Kawat. Kelakuan monyet-monyet Pulaki tadi seperti memberikan gambaran masa depan tentang Bali ini. Suatu saat nanti orang-orang Bali ini tidak ubahnya akan seperti monyet-monyet di Pulaki yang harus belajar menjambret untuk sekadar medapatkan makanan.
Setelah seluruh lahan garapan berpindah tangan, setelah semua sawah, hutan dan ladang berubah menjadi hotel dan private villa. Para pemilik hotel dan vila membayar preman-preman bersenjata untuk menjaga areal hotel dan vila dari intipan mata-mata lapar orang-orang Bali. Pekerja-pekerja hotel dan vila pun sudah didatangkan dari luar Bali, karena liburnya pasti dan lebih sedikit dibanding orang Bali yang begitu sering, tiba-tiba, harus izin karena ada kerjaan adat.
Seremonial di pura-pura pun nantinya akan diselenggarakan oleh EO-EO profesional yang waktunya bisa sewaktu-waktu sesuai dengan pesanan. Karena pengempon pura sudah tidak mampu lagi melaksanakan odalan yang hanya menghabiskan biaya besar dan menjadi tontonan gratis para toris.
Ah, sembahyang dalam teror di Pulaki telah benar-benar meneror masa depan kebalian saya!!

Sumber : balebengong.net

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

INFO PENTING

Kami sampaikan kepada semua pengunjung TNBA Blog, bahwa Kami disini bukanlah Pencipta Artikel ataupun Uploder, kami hanyalah Finder Artikel dan Juga Link - link terkait yang kami Posting. Admin adalah BLOGER Baru yang berasal dari PULAU DEWATA dengan Tujuan mulia untuk membantu Masyarakat untuk menemukan Artikel-artikel yang diinginkan dengan Mudah tanpa mengambil keuntungan dari semua Postingannya.

Salah satu Sumber kami :
1. www.parisada.org
2. singaraja.wordpress.com
3. piswayang.blogspot.com
4. www.stitidharma.org

Trima kasih atas perhatiannya

Admin

Bisnis Online

BALI

=====BALI=====

Bali adalah Pulau yang sering disebut dengan Pulau Seribu Pura, ini semua karena memang di Pulau ini memiliki banyak sekali Bangunan Pura Yang Megah di Setiap Lokasi di Setiap Desanya. Hal ini tidak terlepas dari Mayoritas penduduknya menganut Agama Hindu,,Hhhhmmmmmm kalau saya Bahas Bali disini akan sangat panjang, Kalau Agan2 Mau tau Bali seperti apa,,.??? Baca Postingan dari "TIANG NAK BALI AGA", temukan Informasi tentang Bali disini.

Suksma

Kategori

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Kunjungan

Followers

 

Visitors

free counters

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger