Pujian sebagai ‘surga’ dan kecaman sebagai ‘neraka’ sering kali dilekatkan pada Bali.
Sejak era 1920-an, Bali dijuluki sebagai pulau ‘surga’. Keindahan
alam dan eksotisme masyarakatnya dikemas kemudian dijual di pasar
pariwisata global. Selanjutnya, lahir antitesis yang menyatakan Bali
tidak lagi merupakan surga. Sebaliknya, Bali justru telah berubah
menjadi ‘surga yang hilang’ (lost paradise) atau bahkan ‘neraka’ bagi
para turis yang datang. Tulisan Andrew Marshall di media internasional,
misalnya, membuat pemerintah Bali kelabakan merespon dan mengembalikan
citra Bali sebagai ‘surga’.
Bagi industri pariwisata, citra surga
atau neraka sebenarnya sama pentingnya dalam mendongkrak laju bisnis.
Seperti sebuah dialektika, proses ‘penjualan’ Bali memang tidak boleh
tergantung pada satu tesis mapan, yakni citra sebagai ‘surga.’ Kejenuhan
pada label ‘surga’ ini, ada kalanya, dibutuhkan inovasi untuk membuat
‘barang dagangan’ terlihat lebih dinamis. Dengan demikian turis menjadi
penasaran untuk datang menyaksikan secara langsung tentang apa yang
telah terjadi di ‘surga.’
Label ‘surga’ berubah menjadi ‘surga yang hilang’ (lost paradise)
merupakan hasil formulasi bahasa marketing untuk mengajak semakin banyak
turis menikmati Bali sebelum ia benar-benar hilang dari peta tujuan
wisata dunia.
Ngemplang Turis
Belakangan ini, perdebatan tentang Bali dalam konteks industri pariwisata kembali terjadi. Masih seperti sebelum-sebelumnya, perdebatan kali ini juga berlangsung di kalangan ‘ksatria’ (para elite) menggunakan bahasa ‘kawi’ (Inggris). Sedangkan, masyarakat Bali kebanyakan sering kali tidak mampu mengakses perdebatan tersebut karena para ‘punakawan’ (intelektual kelas menengah) lebih senang untuk mencari posisi aman ketika kontroversi industri pariwisata terjadi.
Belakangan ini, perdebatan tentang Bali dalam konteks industri pariwisata kembali terjadi. Masih seperti sebelum-sebelumnya, perdebatan kali ini juga berlangsung di kalangan ‘ksatria’ (para elite) menggunakan bahasa ‘kawi’ (Inggris). Sedangkan, masyarakat Bali kebanyakan sering kali tidak mampu mengakses perdebatan tersebut karena para ‘punakawan’ (intelektual kelas menengah) lebih senang untuk mencari posisi aman ketika kontroversi industri pariwisata terjadi.
Terdapat dua posisi yang saling berkontestasi dalam hal ini. Posisi
pertama diwakili ‘ksatria kerajaan’ pariwisata di Bali, yakni IB. Ngurah
Wijaya. Wijaya adalah Ketua Bali Tourism Board (BTB), lembaga
non-pemerintah yang menjadi vanguard bagi pengembangan industri
pariwisata Bali.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat harian berbahasa Inggris, IB.
Ngurah Wijaya menyatakan bahwa Bali belakangan ini penuh sesak oleh
turis-turis pelit. Wijaya mengatakan masa kunjungan dan pengeluaran
turis selama di Bali mengalami penurunan signifikan. Menurutnya,
kerumunan turis pelit ini memiliki kontribusi sangat minim terhadap
ekonomi Bali, lebih tepatnya bagi para pengusaha. Kedatangan mereka
justru memperparah permasalahan kronis Bali, seperti kemacetan dan
sampah.
Posisi kedua diwakili oleh Vyt Karazija, seorang eskpatriat, yang
menuliskan opininya di sebuah media berbahasa Inggris di Bali. Dia
mengomentari pendapat IB. Ngurah Wijaya. Vyt menggunakan sudut pandang
turis-turis yang datang ke Bali. Mereka dibuat shock oleh berbagai
permasalahan sosial dan lingkungan di Bali yang tidak pernah disebutkan
dalam brosur-brosur perjalanan wisata. Misalnya, supir taksi ataupun
money-changer yang tidak segan-segan ngemplang turis, kriminalitas,
sampah dan polusi.
Sederhananya, menurut Vyt, Bali tidak lagi menjadi tujuan wisata yang
kompetitif sehingga turis berangsur-angur meninggalkan Bali. Indikator
awalnya, adalah semakin pelit mereka dalam membelanjakan uangnya.
Kedua sudut pandang tersebut sebenarnya memiliki kesamaan mendasar.
Keduanya menggunakan perspektif ekonomi. Para pengusaha resah dengan
keberadaan para turis pelit di Bali karena mereka tidak menggunakan
fasilitas yang ‘dijual’ sang pengusaha. Adapun para turis juga tidak mau
mengeluarkan uang lebih untuk sesuatu yang telah usang dan tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan rekreasi dan mimpi-mimpi surga mereka.
Kalau pun mereka mengungkapkan masalah lingkungan dan sosial, itu
sekadar memberikan justifikasi atas logika-logika ekonomi dan kenyamanan
mereka selama ini. Jika kepentingan ekonomi dan kenyamanan mereka
terpenuhi, sangat jarang mereka akan mengungkapkan masalah di atas.
Bahkan, mereka akan cenderung menyembunyikannya rapat-rapat. Atau paling
tidak mengelak bahwa corak produksi dan konsumsi pariwisatalah yang
menyebabkan permasalahan tersebut.
Jadi sebenarnya, perdebatan mereka merupakan selisih paham yang biasa
terjadi di antara pedagang dan pembeli jasa pariwisata Bali. Bagi
mereka uang dan kenyamanan menjadi panglima. Maka, pertanyaan
selanjutnya, di mana posisi masyarakat Bali kebanyakan dan lingkungan
hidup Bali dalam pertarungan produsen-konsumen ini?
Bisu
Jika dilihat corak produksi dan konsumsi dalam industri pariwisata di Bali, masyarakat Bali kebanyakan dan lingkunganlah yang paling terkena dampak. Modal sosial masyarakat Bali dianggap barang bebas yang kemudian dikemas menjadi paket-paket pariwisata. Modal sosial ini termanifestasi dalam tradisi dan ritual serta nilai inheren dari lingkungan hidup berupa panorama alam.
Jika dilihat corak produksi dan konsumsi dalam industri pariwisata di Bali, masyarakat Bali kebanyakan dan lingkunganlah yang paling terkena dampak. Modal sosial masyarakat Bali dianggap barang bebas yang kemudian dikemas menjadi paket-paket pariwisata. Modal sosial ini termanifestasi dalam tradisi dan ritual serta nilai inheren dari lingkungan hidup berupa panorama alam.
Namun, suara-suara mereka nyaris tidak terdengar karena ditelan gemerlapnya pariwisata massal.
Ritual-ritual dibuat megah sehingga semakin memberatkan beban budaya
masyarakat bawah. Ritual ini diharapkan menjadi etalase guna membangun
citra bahwa Bali masih memegang teguh tradisi dan budayanya. Meski
menimbulkan kebanggaan semu bagi orang Bali, citra ini sebenarnya
dipergunakan sebesar-besarnya demi industri pariwisata yang telanjur
mencantumkannya dalam brosur pariwisata.
Selain itu, permasalahan sosial seperti kriminalitas, pemerasan
terhadap turis, dan lainnya harus tidak dilihat sebagai fenomena sosial
yang berdiri sendiri. Bukan berarti menjustifikasi terjadinya
permasalahan sosial. Memang dibutuhkan penelitian mengenai hubungan
antara permasalahan ini dengan usaha masyarakat kelas bawah untuk
survive di tengah beban budaya dan beban hidup yang semakin mengimpit
dan kecemburuan sosial.
Apalagi, tanah, aset warisan terakhir, pun telah habis terjual kepada
broker property kelas dunia atau nominee bagi ekspatriat yang ingin
memiliki kaveling atau vila mewah di ‘surga.’
Selanjutnya, permasalahan lingkungan Bali sebenarnya berhubungan erat
dengan ekonomi politik pariwisata. Fenomena ‘fundamentalisme investasi’
di sektor pariwisata membuat pemerintah, LSM, lembaga adat, hingga
ormas pemuda bahu-membahu untuk mendorong ekspansi modal pariwisata.
Alhasil, dampak lingkungan tak menjadi prioritas untuk dibicarakan.
Yang terpenting adalah menyediakan fasilitas yang memuaskan dan
memanjakan kebutuhan borjua para turis, sebagai ‘kasta’ tertinggi di
Bali. Akumulasi dampak lingkungan inilah yang harus ditanggung
masyarakat Bali saat ini.
Belum lagi ketidakadilan lingkungan menjadi semakin nyata. Misalnya
dari ‘jejak karbon’ (carbon footprint) para turis yang terbang dari
negaranya kemudian berkeliling Bali seharian. Mereka telah berkontribusi
besar pada pelepasan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Namun, masyarakat kecil seperti petani dan nelayan yang harus menjadi
korban dampak perubahan iklim. Padahal kemampuan mereka untuk
beradaptasi terhadap perubahan iklim amat terbatas.
Selanjutnya, sering kali para turis acuh ketika air yang mereka
gunakan di hotel, vila, kolam renang atau lapangan golf telah
memperparah konflik air dan ketidakadilan dalam pemanfaatan air di Bali.
Singkatnya, pengusaha dan para turis dalam industri pariwisata baru
akan berteriak ketika kenyamanan mereka selama ini terganggu. Mereka
melihat Bali seperti taman bermain (bukan rumah) mereka. Mereka akan
segera meninggalkan ketika taman tersebut rusak akibat impotensi
pemerintahnya dan impian ‘surga’ yang terus memodernisasi diri.
Pada saatnya nanti, tinggalah kita, masyarakat Bali kebanyakan, yang
harus membersihkan ‘kotoran’ sehabis pesta meriah para turis dan orang
kaya. Karena memang Bali adalah rumah kita. Bali bukanlah ‘surga’
ataupun ‘neraka’ tetapi ruang hidup yang mengharuskan kita terus
berjuang untuk menjadikannya lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungannya, Kami berharap Saudara meninggalkan sedikit kata Untuk Kemajuan Blog ini. Ini semua Untuk Bali, mari bersama Menjaga dan melestarikan Bali yang senantiasa indah dan Damai.